Part 3

16 2 0
                                    

Satu hari setelah menerima tugas pertama sebagai anggota klub.

"Klub Teater Harapan Negeri! Yay!"

"YAY!"

Sorak semangat terdengar menggema di gedung aula. Bersamaan dengannya, belasan murid kemudian berpencar menuju segala arah. Beberapa ada yang mulai membereskan alat-alat peran, memasang hiasan, dan ada pula yang berlatih peran.

Salah seorang dari mereka tampak menoleh padaku dan Mia yang kini sedang berdiri di pintu masuk aula. Seolah telah menunggu kami, sebuah senyum mengembang di wajahnya kala ia berlari perlahan menghampiri kami. Perawakan orang itu cukup tinggi, hampir-hampir menyamai anggota klub basket.

Meski demikian, kok wajahnya tidak mirip aktor, ya? Yah, bukannya aku merendahkan, sih. Hanya saja, biasanya aktor atau pemeran utama hampir dipastikan memiliki wajah yang rupawan, jauh dari jerawat atau semacamnya. Sedangkan orang ini, entah mengapa melihat wajahnya saja aku bisa menebak kalau ia jarang mandi. Jerawat memenuhi wajah gelapnya dan rambutnya tampak kumal. Siapapun yang melihatnya pasti takkan menyangka bila ia adalah anggota klub teater.

"Hai Mia, kau datang tepat waktu, nih. Menunggu lama, ya?" Sapanya kala tiba dihadapan kami berdua. Mia membalas dengan senyum dan gelengan kepala. "Baru tiba kok." Balasnya.

"Uuh, sebetulnya sudah mau setengah jam-kya!"

Baru saja aku ingin berterus terang, namun kakiku malah diinjak Mia. Mengerti apa maksudnya, aku lantas diam sambil meringis kesakitan. Dasar chibi. Diam-diam gadis ini kuat juga, rupanya.

"Senang bisa bertemu kak Emil lagi. Mudah-mudahan aku tak merepotkan, ya?"

Oh, jadi ini dia ketua klub teater yang dimaksud Mia.

"Ah, kau jangan sungkan begitu. Justru aku berterima kasih, nih." Jawab Emil, diiringi sebuah senyum lebar. "Selalu membuatmu repot di saat-saat genting begini, mudah-mudahan kamu tidak kapok membantu kami, ya?"

"Ahaha, tidak kok kak. Malahan aku senang bisa membantu kakak."

Bila melihat sikapnya, Emil sama sekali jauh dari kesan menyeramkan. Kepribadiannya malah boleh dibilang lucu dan menarik. Sungguh sebuah sinkronisasi yang tidak sesuai antara kulit dan isi.

Yah, kita memang tidak boleh menilai sesuatu hanya berdasarkan fisik semata, sih.

Ngomong-ngomong, Mia membawaku kemari untuk mengenalkanku pada ketua klub teater. Namun sejak tadi keduanya malah asyik mengobrol dan tertawa cekikikan. Melihat Mia yang manis dan Emil yang perwujudan dedemit, hmm, berasa menonton pertunjukan Beauty and the Beast. Cocok.

...jadi, aku ngapain nih?

Menatap sekeliling, orang-orang masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Di kejauhan, sebuah spanduk besar kini telah terpasang. Petualangan Ceu Rina, sebuah pertunjukan teatrikal tentang bersahabat dengan alam. 14 Mei 20xx.

Hmm, itu berarti sepuluh hari lagi. Kok aku tidak tahu ya? Apa catatan ketidakpedulianku pada sekolah sedemikian parah?

"Hei, awas!"

Asyik memandangi spanduk dan orang-orang, tiba-tiba sebuah suara teriakan muncul dari arah samping. Aku yang kini kembali ke alam sadar pun menoleh ke samping kiri, dan-

"Uwaa!"

-dengan refleks segera memundurkan kepala.

Nyaris saja! Benda asing itu – yang kemudian kuketahui berupa sebuah lakban hitam – hampir saja menghantam kepala. Laknat, siapa yang berani melempar benda aneh itu padaku? Minta disetrika, ya!

"Kyaa!"

Ah, lontong.

Aku yang terbiasa tawuran bisa dengan mudah menghindari sebuah lakban yang melayang. Yah, jangankan lakban. Tinju yang melayang saja bisa kuhindari, kok. Pun demikian, aku lupa bahwa Mia sedang berdiri disampingku sehingga lakban itu pun tentu saja menghantam kepala Mia.

Happiness ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang