01

52 3 0
                                    

"Galau mulu sob?"

Mas Ocin, pemilik kedai kopi kecil ini menegur Chandra yang daritadi hanya terdiam sambil menghisap batang nikotinnya. Chandra Wikrasena, atau yang akrab disapa Chandra itu hanya terkekeh kecil, menghembuskan asap dari mulutnya.

Chandra punya pendirian bahwa masalahnya dia, harus hanya dia yang tahu. Nggak enak aja, rasanya lebih nyaman untuk menyimpan masalahnya sendiri daripada menceritakannya ke orang lain. Tapi namanya juga manusia—punya titik lemah, titik terendah. Dan kalau sudah menyentuh titik-titik ini, Chandra langsung menyalakan rokoknya.

Sepele, atau mungkin lebay tapi kalian nggak tahu aja, rasanya cerita ke rokok itu melegakan.

"Kenapa, nih?"

Mas Ocin bertanya kembali. Tanpa menoleh kearahnya, Chandra menjawab. "Gue sayang sama cewe, mas."

"Terus? Cewe lo?"

Chandra tersenyum simpul, "maunya."

"Maksudnya?"

"Gue sayang cewe orang."

Mas Ocin terlihat agak kaget, Chandra nggak nyalahin dia. Keadaannya sekarang terlihat cukup menyedihkan. "Kenapa bisa, Chan?"

Alih-alih menjawab, Chandra hanya tersenyum. Nggak ingin menjawab. Ada beberapa masalah, yang baiknya hanya ia ketahui sendiri. Mas Ocin tampaknya sadar Chandra nggak nyaman menceritakan hal itu, Mas Ocin berdiri dan menepuk pundak Chandra, lantas melangkah kembali kebelakang meja barista.

Line!

Chandra menoleh kearah ponselnya, melihat notifikasi yang muncul dilockscreennya.

Ghaitsa. : Aku dirumah, Chan.

0 1 9


   "aku benci takdir."

   "sama."

   "nggak bisa ya, takdir melepas jerat, dan menguatkan aku untuk bisa sepenuhnya sekarang sama kamu?"

"Chandra."

"Gak usah, Itsa. Aku sayang kamu pokoknya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

19.01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang