Sementara kakiku dibelai lembut oleh ombak, ingatan perihal masa lampau diam-diam menggelitik isi kepala. Mataku terpejam sebentar, menikmati detik demi detik yang tengah ku lalui, pelan, kusyukuri nikmat yang tengah dihidangkan Tuhan di hadapanku.
Mataku membuka. Sejauh mata memandang, birunya laut dihiasi putihnya debur ombak terhampar luas, terlampau luas sampai-sampai tak tampak ujungnya oleh mataku. Mataku kupejam lagi, seolah tak kuat memandang suguhan Tuhan yang kelewat indah lebih lama daripada ini. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah aku tengah menikmati sakit dan rindu yang bergulat dalam diri saat cuplikan mengenai kejadian lima tahun silam diputar ulang, di kepalaku, disaksikan hati yang mengaku sudah pulih.
+++
Di suatu libur panjang akibat jatuhnya tanggal merah tepat di hari senin, Ibu dan Bapak mengajakku untuk mengunjungi Abah dan Umi, orang tua Ibuku.
Mereka tinggal bertetangga dengan pantai dan menyambung hidup dengan membuka restoran yang menjual makanan laut.
Lumbung Seafood, itu nama yang Abah pilih untuk bisnis kulinernya. Seperti biasa, di penghujung minggu dan tanggal-tanggal merah, Lumbung Seafood selalu ramai pengunjung.
Tiba di sana setelah melalui perjalanan kurang lebih lima jam, aku melihat parkiran Lumbung Seafood ramai dipenuhi kendaraan roda empat.
Turun dari mobil, aku dan Ibu langsung disambut Umi dan dipapah masuk menuju ke dalam, sudah disediakan makanan katanya, sementara Bapak langsung diajak Abah berkeliling, melihat sekitar.
Kami berhenti disalah satu meja dekat jendela, kulihat banyak makanan lezat sudah dihidangkan. Ada dua macam ikan yang dibakar, cumi bakar, cumi goreng tepung, udang asam manis, udang goreng tepung, tiga piring cah kangkung, dan dua bakul nasi hangat.
Cacing-cacing di perutku langsung berteriak minta diisi.
“Dimakan atuh, Suni, malu nanti lauk-lauknya dipelototi begitu mah.” Umi bersuara, aku tersipu, malu karena ketahuan.
“Eh, muhun, Mi, mau tunggu Bapak dulu.” Balasku.
Ibu, di sebelahku, menertawakan.
Tak berselang lama, Bapak datang sambil tertawa-tawa dengan Abah di sebelahnya. Umi langsung mempersilakan mereka duduk.
Lalu, setelah mereka duduk dengan sempurna, Umi bersuara lagi, “Abah ajak Irul kemana ? meuni lila, kasian ini Si Suni, sudah kelaparan dari tadi.”
Wajahku merah lagi.
+++
Keesokan harinya, lepas salat ashar, aku memilih mengisi waktu senggang dengan pergi ke pantai. Sendirian. Ibu tidak mau ikut, lebih memilih belajar masak ikan bakar resep terbaru milik Umi, sedangkan Bapak dikekang Abah untuk dijadikan kawan bercengkrama.
Tak sampai lima menit berjalan kaki, portal yang memisahkan jalan raya dengan parkiran untuk pengunjung pantai sudah kulalui. Kusapa penjaga portal itu singkat, ia balas tak kalah singkat, ada mobil yang hendak masuk. Aku berlalu.
Hamparan pasir menyambut kaki telanjangku. Kududukkan diri berjarak sepuluh langkah dari pasir yang basah, baru saja dijilat ombak. Birunya laut bersatu padu dengan putihnya debur ombak. Indah.
Lalu, detik berikutnya, angin bertiup menelusup masuk melalui cela kerudung, membelai rambutku. Kurapikan anak rambut yang mencuat sana-sini akibat perbuatan angin.
Pantai cukup ramai sore itu. Banyak anak kecil lari sana-sini, ada yang menghindari ombak, ada juga yang menghindari kejaran orang tuanya. Tukang sewa ban dan wahana pantai lainnya saling bercengkrama. Ibu-ibu penjaga warung yang jual aneka jajanan sibuk melayani pengunjung pantai yang kelaparan sehabis main-main dengan air.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH SEBENTAR
Historia CortaKisah ini boleh jadi sebentar, tapi tetap saja ini kisah; layak diceritakan.