Entah sudah berapa kali Daren menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Hana, yang duduk di sampingnya, sampai mengipas-ngipas udara karena wanginya menyengat, menatap Daren dengan tatapan sinis.
"Dia pipis juga, Mah," Daren membela diri, menutup botol parfum dan memberikannya kepada sang ibu.
Karena beberapa alasan, Daren memilih mengikuti ibunya dan bolos jam pelajaran.
Setelah kejadian Haru siang tadi, Hana dan Yuki langsung datang ke sekolah. Semuanya kacau, dan Daren mendapati dirinya berantakan dengan celana bekas muntahan dan tangannya yang basah karena Haru buang air kecil saat dia menggendongnya ke UKS.
Sesuai pesannya, Hana datang membawa baju ganti untuk Daren, baju olahraga tepatnya. Untung Hana saat itu ada di rumah, dia bisa membawa seragam lain untuk anaknya.
Daren membersihkan diri di kamar mandi sekolah, kemudian kembali menghampiri ibunya yang menunggu di depan ruang UKS. Setelah menangani Haru, dia menunggu Yuki mengganti baju Haru sebelum mereka membawanya kembali ke rumah.
"Jadi, apa yang terjadi?" tanya Hana, memiringkan tubuhnya menghadap anaknya yang tengah merapikan rambut, berkaca pada ponselnya.
"Dia kena serangan panik, Daren udah bilang tadi," katanya sambil bercermin.
Hana berdecak. "Maksud Mama, kenapa dia bisa kena serangan panik? Apa ada penyebabnya?"
Daren menatap ibunya bingung. "Mana Daren tahu," katanya. "Tapi dari pagi dia agak aneh, sih, Ma. Kaya orang ketakutan gitu, terus dia tiba-tiba kena serangan panik di depan ruang seni," jelasnya kemudian.
"Ruang seni?" Hana menaikkan satu alisnya.
"Ya, setelah jam istirahat pertama ada praktik seni, Sir Willian suruh kita ke ruang seni."
"Apa ada kanvas di dalamnya?"
"Ya, karena hari ini ada praktik membuat seni lukis."
"Aaaa, I see." Hana meregangkan tubuhnya, menyandarkan diri pada sandaran kursi tunggu di depan UKS.
"Kenapa, emangnya?" Daren penasaran.
Hana menatap anaknya diam. Lima detik kemudian, dia kembali menegakkan tubuhnya, menatap anaknya serius. "Daren, Mama nggak pernah minta tolong sama kamu soal Haru, tapi kali ini Mama minta tolong untuk melakukan satu hal ini," ucapnya serius.
"Apa?"
"Jangan biarkan Haru memasuki ruang seni selain karena dia yang mau."
"Itu traumanya."
.
.
.
.Selama sang ibu menjadi psikolog pribadi Haru, Daren tidak mengetahui persoalan pribadi perempuan itu selain fakta bahwa Haru adalah keturunan Jepang, itu pun hanya karena namanya. Identitas pasien adalah rahasia. Daren diajari itu sejak kecil oleh sang ibu, maka dari itu Daren tidak terlalu ingin tahu.
Memang benar, ibunya tidak pernah melibatkan Daren dalam proses penyembuhan mental Haru, walau Daren dan Haru bersekolah di tempat yang sama, bahkan berada di kelas yang sama. Hana tidak pernah menyuruh Daren mengawasi Haru atau meminta menceritakan kegiatan Haru selama di sekolah.
Selain fakta bahwa Hana membawa Haru ke sekolah itu setelah kondisinya membaik karena dekat dengan kediamannya, Hana tidak mengetahui kalau Haru berada di kelas yang sama dengan anaknya sampai Daren sendiri yang bercerita.
Namun, permintaan agar jangan membiarkan Haru memasuki ruang seni sepertinya adalah hal yang sangat penting. Daren menjadi penasaran, apa yang menjadi penghubung antara ruang seni dan trauma Haru.
Malam ini, Daren tidak bisa tidur, memilih bermain game bersama teman-temannya hingga dini hari. Mengendap endap keluar kamar karena lapar.
"Mama belum tidur?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegy Haru
Romance"Aku hanya ingin Akira-neechan kembali." Haru yang memiliki trauma, terpaksa pindah dari ibukota, orang tuanya mencoba menjaganya agar tidak kehilangan untuk kedua kalinya. Di kota baru, Haru bertemu Daren, yang perlahan membuatnya pilih dari trauma...