1

8 1 0
                                    

Wajahnya murung, aura gelapnya semakin terasa karena rambut nya dibiarkan menjuntai bebas ke depan. Semua orang bergidik ngeri melihat nya, hawa dingin yang tiba-tiba hadir saat dia melintas di hadapan seluruh murid yang tengah asyik duduk di bangku sepanjang koridor depan kelas mereka.

“Eh, eh ada rumor dia ngebunuh bodyguard nya kepsek yak ?” Bisik salah satu siswi di gerombolan tersebut.

Namun, yang digosipinya sudah terbiasa mendengar celotehan itu. Membuat nya acuh dan santai melewati mereka, sedangkan yang menggosipinya memandang kesal kearahnya.

“Eh, Kunyuk! Gue manggil dari tadi kaga nyaut, budek lu kebangetan Win!” Maki cewek yang tingginya hanya sebatas dada itu.
“Ga denger.” Katanya singkat, membuat cewek tadi mendengus kesal.
“Eh, Nyuk. Gue tuh lagi laper, mau minta anter sama lu ke kantin! Lu kok gak peka amat sih sama sahabat lu sendiri, WIndi!” Omelnya kepada Windi lagi.

Tanpa berkata, Windi langsung menarik cewek tadi dan berjalan menuju kantin utama. Windi langsung menuju ke stand bakso malang setelah sebelumnya mendudukkan Andin ke bangku yang terletak di pojok kantin dengan paksa, dan kembali membawa nampan berisi 2 mangkok bakso dan 2 botol air mineral.

Suasana kantin yang berisik menjadi senyap, semua mata tertuju kepada dua gadis yang baru saja nampak di bibir koridor kantin. Satu persatu murid meninggalkan kantin, ada juga yang tetap di kantin dengan menatap sinis ke arah keduanya.
“Eh, Din. Awas jadi boneka nya si Darah dingin depan lu, gak takut apa?” Celetuk salah seorang siswi yang mejanya tak jauh dari meja Windi dan Andin.
"Eh, kok gue ngerasa hawanya dingin ya? Lu pada ngerasa gak sih?" Tanya salah seorang siswi kepada teman di depannya.
"Iya, beda banget hawanya. Mungkin karena ada psikopat kali ya?" Celetuk siswi yang lain.

Windi menghela nafas, namun sebisa mungkin tetap menunjukkan aura dingin sebagai penutup amarah dan kerapuhannya.

****

Bel berbunyi cukup panjang dan nyaring, pertanda jam belajar usai dan waktunya pulang. Windi sudah merapihkan bukunya, ia mengurungkan niat pulang nya saat merasakan sakunya terasa bergetar. Benda pipih itu menyala, sebuah notifikasi Line masuk dari nomor tak di kenal.

From +62838xxxxx
gue akan lindungin lo!
~WD~

Baru saja Windi akan menutup Roomchat tersebut, sebuah notifikasi pesan kembali muncul namun nomornya berbeda.

from +62800xxxx
Lo gak bakalan bisa lepas dari gue! Lo harus MATI!

"Apa-apaan nih? Kenapa ngancem gue? Siapa dia? Siapa WD?" Tanya Windi dalam hati.
Windi menggeleng pelan, ia langsung keluar kelas untuk bergegas pulang.

****

"Hai." Sapa wanita itu.
"Ngapain sok nyapa kita? Najis gue kenal sama pembunuh kayak lu!" Hardik Sisil dengan tubuh sedikit gemetar.
"Gue terkenal ya? Berarti tinggal gue dong yang belom kenal? Siapa sih nama kalian ini, hm?" Tanya wanita itu lagi, kali ini dengan senyum yang menyeramkan.
"Gausah pura-pura kenalan deh lu, gue tau lu bakalan jadiin kita korban selanjutnya. Karena kita selalu ngebully lu, iya kan?" Wanita itu malah tertawa keras, membuat dahi kedua wanita di hadapannya itu bertaut.
"Ha..ha..ha"
"..."
"Gue emang udah ngincer lu, tapi nanti setelah gue nyingkirin pelindung dia." Jawabnya dengan senyum misterius.

****

"Gimana, Kar. Udah tau siapa dalangnya?" Tanya pria bertubuh gempal tersebut.
"Entahlah, dia mirip banget sama gue dan adek gue." Jawab lelaki berambut pirang.
Sedangkan wanita berkepang dua, hanya menyimak pembicaraan mereka. Sesekali memelintirkan ujung rambut dengan jari telunjuknya.
"Yang penting kamu, Kar. Jagain dulu adek gue, lapor kalo ada seseorang mencurigakan. Lu Cik, tetep dalam penyamaran sebelum kita tahu pelakunya." Ujar Wendi.

Revealed at MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang