2

5 0 0
                                    

Jam istirahat tiba, seluruh murid berhamburan kelas menuju kantin untuk mengisi perut mereka. Ada juga yang berkunjung ke kelas sang kekasih supaya dapat berduaan selain di rumah, apel bebeb lebih tepatnya.

Sedang Windi, ia kembali mendapat cibiran dari mereka.

"Gue tau, pasti lo kan yang bikin ulah itu?" Tanya Demi, sekretaris kelas yang hobi gosip.
“Secara itu mayat dilihat dari foto-fotonya ada kapak yang masih nancep di kepalanya, gak masuk akal kalo pembunuhan berencana kasusnya bisa ada di publik.” Tambah siswi yang lainnya.
"Kenapa harus gue yang lu tuduh? kenapa?" Gumam Windi, namun berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Belum selesai penuduhan dari Amel, salah satu siswi tiba-tiba memekik dan tak sadarkan diri. Dengan tangan yang masih menggenggam ponsel yang menunjukkan timeline Line, hingga seseorang mengambil dan memeriksa penyebab pingsan nya siswi tersebut.

"Astaga, ternyata mayat itu Sisil! Dan semuanya tolong0 dengerin, pembunuhnya adalah Windi Darmawan! Oh, wanita yang berbahaya ternyata." Teriak salah seorang siswa yang mengambil alih hp siswi yang sedang pingsan tadi.

Semua murid yang berkumpul melingkari Windi pun serempak bertepuk tangan, tak lama beberapa gerombolan melempari Windi dengan berbagai cara. Ada yang menyiramnya dengan air got, melemparinya dengan sampah basah, bahkan tak sedikit yang melemparinya dengan batu dan bangkai tikus.

"STOP!"

Semuanya menoleh ke sumber suara, ternyata sudah ada ketua Squad beauty Girls di belakang kerumunan. Mereka refleks memberi jalan saat geng tersebut mulai berjalan mendekati Windi yang sangat kotor namun dalam keadaan menunduk dalam.
Ketua Squad berjalan terus hingga jarak ketua dengan Windi hanya beberapa inci saja, matanya mendetail keadaan sosok di hadapannya dengan remeh.

"Nah, kalo ini sih pantes buat lo! Siapa suruh lo berani sekolah disini dan punya kasus yang bawa nama sekolah ini!” Ucap Alfin, si ketua.

****

Hari ini menguras banyak tenaga, bagaimana tidak? dirinya harus di hina karena kematian Salsa yang entah siapa pelakunya. Emosi pun tak ada gunanya, karena mereka akan semakin menuduhku sebagai psikopat. Argh, aku frustasi sekarang!

Windi memutuskan untuk membolos hari ini, dan mengunjungi taman belakang untuk merenung dengan semua takdir yang terasa begitu tak menginginkannya hidup bahagia.

"Kenapa bahagia ku menghilang? Mengapa semua temanku hilang? Hiks..aku tak sanggup bila seperti ini! Cabut nyawaku, Tuhan. Aku mohon!" Suaranya yang parau semakin membuatnya terdengar amat menyedihkan.
Kekacauannya hari ini membuat Windi tak menyadari, bahwa ada 2 hal yang akan menghampirinya sekaligus.

****

"Halo, Kakak kembarku. Gimana sekolahnya? Pasti gak asyik ya? Banyak yang bully, banyak yang ngehindar, padahal itu aku yang lakuin. Miris ya, jadi kamu?" Ucap adik kembarnya itu.
"Kenapa lo bikin gua kayak gini? Apa mau lo?" Adiknya hanya tertawa, seraya mengelus-elus sebuah belati kecil yang terdapat darah kering di bagian ujung pisau tersebut.
“Lo nanya gue kenapa? Lo gak kangen-kangenan dulu sama gue gitu?” Tanya nya lagi.
“Harta warisan Papa buat gue udah lo ambil, sekarang apalagi?” Timpal Windi yang sudah mulai muak.
"Gua mau lo mati, Di." Bisik adik nya pelan tepat ke telinganya.

Perlahan, sepatu yang ia kenakan di lepas secara hati-hati. Lalu sebuah Belati mulai menari-nari sesuai gerakan tangan tuannya, yang kali ini melukiskan setangkai bunga di bawah helikopter di paha mulus nya.

Darah segar mengalir dari sela-sela sayatan bunga dan helikopter tersebut, Windi hanya pasrah karena melawan pun percuma. Windi hanya terisak pelan, memandangi pahanya yang kini sudah berdarah-darah karena sayatan yang dibuat saudari kembarnya itu.

Tak puas dengan gambar yang terukir di paha Windi, Wanda mendekatkan belatinya ke arah leher jenjang Windi.

Braak!

"Siapa lu?" Teriak Wanda yang geram karena aksinya terganggu.

Alih-alih menjawab, mereka bertiga malah sibuk memasang suatu taktik penyerangan di depan Wanda.

"Berhenti! Atau dia gua paksa buat nyusulin Ayah!" Ancam Wanda seraya mendekatkan ujung belati tepat ke tengah-tengah kulit tenggorokannya.

Dorr..dorr..

Sreet..

"Akh.."
"Windii..."

****

Putih, tanpa campuran warna lainnya. Itulah yang Windi lihat kini.

"Ayah!" Lelaki itu menoleh, wajahnya menampakkan jelas ekspresi terkejut yang teramat.
"Kenapa kamu disini? Siapa yang bawa kamu kesini?" Tanya Ayahnya khawatir.
"Wanda benci aku yah, Wanda gak suka aku." Rengek Windi manja.
"Aku udah pergi, maaf." Pamit Wanda.
"Ayah..Windi mau ikut ayah.." Rengek Windi.
Langkah kakinya terasa di kunci, membuatnya amat sulit bergerak.

"Ayaah.."

"Windi, bangun sayang!"
"Kamu harus kuat!"
"Astaghfirullaahal'adziim! Istighfar, Nak!"
Suara-suara itu seperti sebuah pintu untukku, sepertinya ada celah di dimensi ini.
"Sayang, kalau gak kuat gak papa. Mama sudah ikhlas, nak."

Suara itu membuat cahaya di sana meredup, aku kembali berada di dimensi yang hampir gelap.

Nit..nit..nit..

"Ini mukjizat, garis lurus kembali membuat gelombangnya. Puji Syukur Allah telah memberikan kesempatan untuknya kembali ke dunia.” Ucap Dokter sumringah.

Flatface13 AmboDHerma_

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Revealed at MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang