3: Hujan Tidak Turun pada Minggu Ketiga Bulan Desember Ini

25 1 0
                                    

SUDAH satu minggu. Saya baru mengunjungi kedai ini lagi setelah tepat seminggu yang lalu bertemu denganmu lagi, Dasha.

Saya tidak akan mengharapkan keberadaanmu lagi di kedai ini. Saya tidak akan lagi meminta perasaan dan hati saya untuk berharap lebih kepada kamu.

Jam tangan di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Saya tahu kedai kopi ini akan segera ditutup.

Sudah dari jam setengah lima sore tadi saya duduk di sini. Rasa-rasanya saya belum ingin pulang. Rasa-rasanya saya masih ingin berada di sini lebih lama lagi, entah beberapa menit lagi, atau beberapa jam lagi.

"Belum pulang, Mas?" tanya sebuah suara dari arah belakang meja saya tiba-tiba.

Saya menoleh. Ada seorang perempuan berkemeja putih dengan apron cokelat khas seragam barista Kedai Kopi Barreta, berdiri di sana.

Mata saya mengerjap sesaat, memperhatikan singkat perempuan di hadapan saya. Sejauh ini, saya belum pernah melihat barista secantik dirinya. Tubuhnya kecil, kulitnya putih cerah, rambut hitam sebahu dengan poni yang membingkai wajah mungilnya membuatnya semakin terlihat cantik.

Ia tersenyum sembari membenarkan kacamata yang bertengger manis di hidung kecil mancungnya. Tangannya ia lambaikan di depan mata saya, "Mas?" tanyanya karena saya tidak kunjung menjawab pertanyannya.

"Eh—iya?" tanya saya sembari mengerjap kaget.

Mata bulatnya menyipit, "Kamu nggak sadar aku ada di sini dari tadi, ya?"

"Sa—sadar kok. Saya sadar kamu ada di sini," tanya saya, setengah mati berusaha supaya tidak gagap.

Dia berjalan mendekat ke arah kursi di hadapan saya, menariknya dan kini duduk persis berhadapan dengan saya. Penyinaran dari lampu kuning remang-remang di langit-langit kedai cukup bagi saya untuk memperhatikan wajah mungilnya secara detail.

Ternyata ia tidak cantik, tapi... sangat cantik. Alis tebalnya, bulu mata lentiknya, pipi bersemu merahnya, dan bibir cerah kemerahannya semuanya alami dan natural. Saya jamin, ia tidak memakai make up atau apapun saat ini.

Bila diperhatikan lebih dekat, iris bola matanya berwarna cokelat terang, mengingatkan saya pada kamu, Dasha. Mata itu kini menatap saya, "Aku nggak salah denger ya? 'Saya'? Kamu formal banget?"

"Bukan. Saya cuma nggak terbiasa aja," jawab saya.

"Oh oke," katanya sambil mengulurkan tangan, "Aku Areta, panggil langsung nama aja."

"Atria," jawab saya sembari membalas uluran tangannya. Padahal saya hampir saja akan menambahkan 'mbak' waktu saya akan berbicara dengannya lagi.

"Wow, lucu yaa namanya. Biasanya orang namanya Satria, ini kamu Atria ya?" ujarnya memberi tanggapan. "Nggak typo kan ya Mas di akta kelahiran?"

Saya tertawa, tidak menyangka kalau perempuan mungil bernama Areta ini sangat cepat beradaptasi dengan orang lain, "Enggak kok. Emang Atria, kamu ini ada-ada aja."

Ia terdiam sebentar, tampak berpikir sebelum bertanya kembali, "Apa mungkin ada hubungannya sama atrium jantung ya, Mas?"

Tau dari mana dia? Selama ini biasanya orang-orang tidak sebegitunya berpikir ke arah sana. tetapi Areta bisa secepat ini menebaknya.

"Iya ada sih. Tapi... nggak usah dibahas deh," jawab saya berusaha menutupi.

"Oke, aku nggak mau bahas namamu deh," ujarnya. "Ngomong-ngomong ini udah jam setengah dua belas malam, Mas. Kamu nggak pulang? Orang-orang udah pada pulang semua lho dari tadi."

Iya saya tau ini udah jam setengah dua belas malam. Hanya saja... saya belum ingin pulang, Areta.

"Masih belum pengen pulang," jawab saya. "Maaf ya buat kamu jadi nggak cepet pulang. Saya pulang sekarang aja kalau gitu."

Kopi Hitam dan Hujan di Pertengahan Bulan DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang