Namaku Anisa, Anisa Rahmadinanti. Nama yang katanya terlalu bagus untukku. Mengapa? Aku pun tak tau.
"Nisaa ... bangun!" Aku tersentak ketika pak Maman meneriakkan namaku di depan kelas. Dari tempat duduknya, pak Maman memandang tajam diriku yang belum sadar sepenuhnya. Di tangan kanannya penggaris besar telah siap untuk menghabisi siswa-siswi yang berani macam-macam dengan dirinya.
Aku mendelik ke samping, berbisik. "Kenapa gak bangunin aku si, bu."
Sedangkan yang didelik hanya menyunggingkan senyum tanpa dosa. Cantik, tapi bukan saatnya untuk mengagumi hal itu Anisa!
Ayu atau yang biasa aku panggil bu Ayu, teman sebangkuku sekaligus salah satu sahabatku (yang bisa diitung jari jumlahnya) di sekolah ini yang sifatnya 180 derajat berbeda sekali dengan diriku.
Kulirik bu Ayu disampingku, "Kenapa gak bangunin si, Bu?" Aku berbisik kesal, menyadari bahwa diri ini ketiduran di jam pelajaran guru terkiller di sekolah. Mendesir pelan, merutuki diri ini yang bisa-bisa tertidur lelap dalam pelajaran guruku yang namanya sudah terkenal sepanjang sejarah sekolahku. Guru paling killer. Bego, kamu Nis!
Aku menundukkan kepala dalam, sebelum memberanikan diri berpandangan dengan guru paling tercinta di sekolahku ini.
Brak! Meja yang tak bersalah menjadi pelampiasan pak Maman di depan sana. Matanya memincing tajam ke arahku. Kasian sekali meja itu, mohon maaf aku memang aneh, masih sempat-sempat mengkhawatirkan hal yang tak berguna seperti itu.
Bu Ayu disebelahku berpura-pura tak ada aku disebelahnya, sepertinya dia tahu kalau aku bakal meminta bantuannya (dia anak emas pak Maman di kelas ini) untuk terbebas dari hukuman guru killer itu. Dasar, wanita licik.
Tolong aku bu Ayuuuuuuu! Aku memohon lewat pandangan mata. Tapi percuma, bu Ayu menghindari tatapanku. Dan kini aku sudah bersiap mengambil ancang-ancang kalau-kalau pak Maman melemparkan penggaris besi miliknya.
"Maju ke depan, kerjakan nomor 5!"
Kulihat papan tulis sesuai perintahnya, mampus aku. Oke, kayaknya aku butuh kereta api menuju akhirat deh. Kenapa? Lihat saja sana di papan tulis, soal logaritma. Matematika dasar pun aku masih kelabakan, dan apa sekarang? Aku disuruh mengerjakan soal logaritma yang bahkan aku yakin walaupun aku terlahir kembali tak akan bisa aku kerjakan.
Kulirik lagi bu Ayu disebelahku dan lagi-lagi dia mengalihkan padangannya dariku. Sial! Apa yang harus aku lakukan? Bunuh diri. Tidak-tidak, aku masih pengen hidup. Masih ingin bertemu ke-12 suamiku, dan banyak hal lainnya.
Tring! Bagaikan di komik, bola besar menyala terang diatas kepalaku. Aha! Aku punya ide. Kurenggangkan bibir ini membentuk senyuman yang kuharap dapat menyelematkan diri ini. Tapi tampaknya sia-sia, karena dimata orang lain, senyumanku malah terkesan seperti meremehkan.
Dan karena hal itu pula penghapus papan tulis mendarat tepat dijidatku, meninggalkan bekas hitam spidol. Aku yang lugu tak tau dimana letak kesalahanku sampai harus menerima perlakuan seperti ini. Namun dengan tidak hormatnya satu kelas tertawa akan hal itu. Deheman pak Mamanlah yang menghentikan tawa teman-teman biadabku. Liat bu Ayu pun tak bisa menahan tawanya, selucu itukah diriku? Keknya aku cocok deh jadi badut.
"Sontoloyo! Kerjakan halaman 135-145. Kumpulkan sehabis istirahat!" Titahnya. Aku segera membuka halaman yang dimaksud, mengambil pulpen lalu buku tulis, mengerjakannya.
Pak Maman masih menatap lekat diriku, tatapannya seakan menembus diri ini setajam silet. Aku balik menatapnya. Bertanya lewat tatapan mata. Ada apa pak?
"Ngapain?" Jika aku berada didalam komik, maka akan muncul tanda tanya besar diatas kepala ini. Lah bukannya tadi pak Maman sendiri yang nyuruh buat kerjain soal yang ada di buku paket ya? Terus kenapa dia malah balik nanya.
Seakan tau kebingunganku, pak Maman menggetokkan pengaris besi ke meja mengangetkan seluruh kelas.
"Bapak suruh kamu buat ngisiin soal itu diluar jam pelajaran bapak?"
Pak Maman ini gimana sih, gak jelas. Aku kan bingung jadinya. Jika saja dia bukan guru disini, aku pasti bakal uwel-uwel itu kumisnya.
"Pergi ke perpus sana, kerjain disana! Ngerti? Jangan sampai penggaris besi ini bapak getokin ke kepala kamu ya, Nis." Tanpa disuruh kedua kali, kaki ku segera melangkah pergi meninggalkan kelas. Aku masih sayang kepalaku, walaupun gak ada isinya. Toh, diperpus juga aku bisa melanjutkan mimpi indahku yang tadi sempat tertunda.
Bodoamatlah soal tugas, nanti tinggal minta bu Ayu aja buat ngerjaiinya. Hahaha, ternyata ada untungnya juga berteman dengan siswi cantik dan pinter itu. Astagfirullah Anisa!
"Na ... Nana ... Na ...."
Aku berjalan menyusuri koridoor, sambil melantukan untaian nada lagu growl-exo, boyband asal negeri gingseng kesukaanku. Terus melangkah hingga telingaku menangkap alunan musik yang tak asing. Nada yang tadi aku lantunkan perlahan semakin jelas terdengan seiring langkah kakiku bergerak maju. Hingga tiba di ruang klub dance sekolah, tempat dimana lantunan musik itu berasal.
Mengendap-endap, aku membuka perlahan (sebisa mungkin tidak menimbulkan suara) pintu ruang klub dance. Mengintip dari celah pintu yang berhasil kubuka tanpa bersuara. Di depan sana, tepat 5 meter dari tepatku berada. Seorang siswa dengan seragam sekolahku menari mengikuti irama musik yang melantun. Tubuhnya lincah, terlatih. Begitu serasi dengan musik yang dimainkan. Begitu mempesona, sampai aku tak sadar membuka mulutku lebar sekali.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, jantung ini berdetak kencang selain kepada ke-12 suamiku (EXO). remaja cowok tersebut telah berhasil mencuri sebagian hati ini.
Tobe Continue .........
KAMU SEDANG MEMBACA
Daisy, dan Sebuah Rasa
Teen FictionKita ada para pencinta yang mencintai tapi tak bisa memiliki. Cinta bukanlah soal kalian dicintai balik atau tidak, atau saling memiliki atau tidak. Cinta adalah soal rasa. Bagaimana akhirnya? biar semesta yang menentukan. Kita adalah dua kutub be...