2. Seperti Angin

49 4 2
                                    

Aku terpesona, akan sosok remaja pria di depan sana. Dimataku kini, tubuhnya bersinar, seperti sebuah bintang yang cemerlang di langit sana. Senyum tak bisa kutahan, lolos begitu saja di bibir ini. Begitu lama aku menatapnya, hingga tak sadar bahwa ada orang lain selain dirinya di tempat itu.

Sialnya, orang itu membuka pintu, sehingga aku yang menopang di daun pintu terjungkal dibuatnya.

"Akhhh ..." Aku meringis merasakan sakit dijidatku yang tadi mencium mesra lantai dengan keras. Kuyakin benjolan besar pasti akan bertengger lama disana.

SIAL, merutuki cowok brengsek yang bisa-bisanya membuka pinta ruang saat aku masih merada dibaliknya.

"Kamu enggak baik-baik saja."

Yogas? Kenapa dia ada disini? Lupakan hal itu. Sadar bahwa tak hanya Yogas yang ada di tempat itu, rasa panas seketika menjalar ke pipiku. Shit! Bagaimana aku bisa lupa, kalau sedari sosok itu lain di tempat ini. Dan kini dia tengah memperhatikanku dengan tatapan anehnya. Selama beberapa detik kami saling bersitatap, mata kami bertemu. Dan waktu seakan berhenti. Liatlah cowok itu, bahkan saat terdiam saja dengan tatapan aneh dia masih sangat mempesona. Tatapan yang begitu dalam, misterius. Membuatku ingin menyelaminya, menyuap tabirnya.

Baiklah, Anisa sadarlah! Kau tertangkap basah. Segera kukubur dalam-dalam wajah ini agar dia tak bisa melihat wajahku yang sudah terbakar malu.

Yogas mengumpulkan buku-buku yang berserakan. "Ngapain kamu disini, Nis?" Tanyanya, tapi kuabaikan. Aku sedang memikirkan cara bagaimana aku terbebas dari situasi memalukan ini. Otakku berpikir keras.

"Kamu beneran gak apa-apa kan, Nis?" Ulang Yogas, sambil membantuku berdiri. Detik selanjutnya dengan cepat kuambil bukuku ditangan Yogas, dan langsung melesat pergi meninggalkan tempat itu. Kuabaikan tatapan aneh Yogas dan cowok itu, berharap agar cowok itu tak mengenali wajahku dan mengingatnya.

Oh tuhan apa yang telah kau lakukan?

Bodoh! Untuk kesekian kalinya aku merutuki diri sendiri. Bodoh, memang bodoh kamu Nis. Untuk pertama kalinya jatuh cinta pada manusia beneran (bukan khayalan a.k.a bias oppa korea) dan langsung membuatnya ilfeel dengan dirimu dan kebodohanmu.

Yang meskipun ku yakin, tanpa aku melakukan hal itu pun dia tidak akan membalas perasaanku balik. Tapi tetap saja, kenapa aku harus melakukan hal itu dihari pertama aku jatuh cinta kepadanya? Tertangkap basah tengah mengitipnya diam-diam.

Dianggap apa aku nanti sama dia? Stalker? Tidak-tidak! Sasaeng fans? Oke pikiranku terlalu absurb. Jangan-jangan wanita cabul? Tidak! Aku hanya mengintipnya saat menari, bukan hal lain. Memikirkan hal lain kembali membuat pipiku memanas. Roti sobek. Ah tidak! Kenapa aku malah berpikiran aneh-aneh sih.

"Ah bodoh!" Aku memekik tertahan, tak tahan dengan pikiranku sendiri. Kembali menatap soal-soal matematika yang diberikan pak Maman yang sama sekali tak ku mengerti. Sudahlah, aku menyerah dengan soal-soal ini, nanti kuminta saja bantuan bu Ayu untuk menyelesaikannya. Dia kan pinter matematika

Hah, akhirnya satu masalahku hilang. Setidaknya aku bisa bernapas lega. Kini saatnya untuku mengisi tenaga yang sudah terkuras habis, meski jam masih menunjukkan pukul 9.15 pagi. Entahlah, yang kubutuhkan saat ini ialah tidur, dan seperti biasanya untuk urusan ini aku yang jagonya. Tak sampai satu menit, aku sudah jatuh tertidur. Jika saja disekolah ada jurusan tidur, pasti aku yang jadi juara umumnya.

Seperti yang dikatanya diatas, tak butuh waktu lama untuk seorang Anisa tertidur. Selama gadis itu tertidur, ia tak menyadari bahwa ada seseorang yang mengembil tempat di sampingnya. Menatapnya dengan mata indah berwarna coklat dan sebuah senyum manis di bibirnya. Senyum yang muncul karena cara tidur Anisa yang lucu atau mendekati aneh. Entah apa yang ada dipikiran orang itu.

Daisy, dan Sebuah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang