1. Shadows Under the Maple Tree

254 20 0
                                    


Awal Mula: Bayang-Bayang di Bawah Pohon Maple


Universitas Hanbit sedang berada di puncak musim gugur. Daun-daun maple di taman kampus berguguran, menciptakan karpet merah dan kuning yang indah di bawah sinar matahari sore. Yugyeom, mahasiswa tingkat akhir jurusan Olahraga, baru saja selesai latihan basket. Keringat masih menetes di dahinya, seragam olahraganya sedikit kusut, tapi langkahnya tetap tegap saat dia memutuskan jalan memutar melewati taman—tempat yang biasanya dia hindari karena terlalu ramai dengan mahasiswa yang selfie atau nongkrong. Tapi hari itu, entah kenapa, dia merasa ingin sendiri.

Di sudut taman, di bawah pohon maple terbesar, dia melihatnya untuk pertama kali: Tzuyu. Mahasiswi tingkat dua jurusan Sastra itu duduk sendirian di bangku kayu, buku tebal terbuka di pangkuannya, rambut panjangnya tergerai lembut tertiup angin. Cahaya matahari sore menyelinap di antara ranting, menerangi wajahnya yang tenang—seperti lukisan yang tak sengaja Yugyeom temukan. Dia terpaku, langkahnya terhenti tanpa sadar. Ada sesuatu di cara Tzuyu membaca, jari-jarinya yang ramping membalik halaman dengan lembut, yang membuat Yugyeom tak bisa berpaling.

Tapi momen itu tak berlangsung lama. Seorang pria—tampaknya temen kuliah Tzuyu—mendekat dengan langkah tergesa. "Tzu, kamu lupa kan? Kita harus ke perpustakaan sekarang, kelompok kita udah nunggu!" suaranya sedikit keras, nadanya penuh urgensi. Tzuyu mendongak, matanya yang tajam menatap pria itu dengan ekspresi dingin. "Aku bilang aku bakal nyusul. Pergi duluan," jawabnya singkat, lalu kembali ke bukunya seolah tak ada yang terjadi. Pria itu menghela napas kesal, tapi tak berani membantah, lalu pergi dengan wajah cemberut.

Yugyeom, yang masih berdiri di kejauhan, tak sengaja tersenyum kecil. "Gadis ini… beda," gumamnya dalam hati. Dia, yang biasanya tak terlalu peduli dengan orang lain, merasa ada dorongan aneh untuk mendekat. Tapi sebelum dia sempat bergerak, hujan tiba-tiba turun—gerimis kecil yang cepat jadi deras. Mahasiswa di taman berhamburan mencari tempat berteduh, tapi Tzuyu tak beranjak. Dia hanya mengangkat bukunya lebih tinggi, mencoba melindunginya dari air, wajahnya tetap tenang meski rambutnya mulai basah.

Yugyeom tak tahu apa yang merasukinya saat itu. Dia melepas jaket basketnya, berlari kecil ke arah Tzuyu, dan tanpa banyak bicara, memayunginya dengan jaket itu. "Kamu nggak takut sakit?" tanyanya, suaranya sedikit serak karena lari. Tzuyu mendongak, matanya melebar kaget melihat Yugyeom—senior yang dia kenal sekilas dari cerita temen-temennya tentang kapten basket yang populer. "Bukuku lebih penting dari aku," jawab Tzuyu datar, tapi ada nada lembut yang tak biasa di suaranya.

Yugyeom tertawa kecil, suaranya bergema di tengah deru hujan. "Kalau gitu, aku lindungin kamu sama bukunya." Dia tetap berdiri di samping Tzuyu, jaketnya diangkat tinggi meski pundaknya sendiri mulai basah. Tzuyu menatapnya sekilas, lalu menunduk, sudut bibirnya sedikit naik—senyum kecil yang hampir tak terlihat, tapi cukup membuat jantung Yugyeom bergetar.

Hujan reda setelah beberapa menit, tapi Yugyeom tak langsung pergi. Dia duduk di bangku di samping Tzuyu, jaketnya yang basah diletakkan di pangkuannya. "Aku Yugyeom, tingkat akhir. Kamu…?" tanyanya, pura-pura tak tahu, padahal nama Tzuyu sudah sering dia dengar dari obrolan temen-temen basketnya. "Tzuyu. Tingkat dua," jawabnya singkat, matanya kembali ke buku. Tapi kali ini, dia tak benar-benar membaca—ada getaran kecil di tangannya yang memegang halaman.

Sejak hari itu, Yugyeom mulai mencari alasan untuk "kebetulan" bertemu Tzuyu. Dia sering lelet jalannya di taman kampus setelah latihan, berharap melihat Tzuyu lagi di bawah pohon maple. Kadang dia bawa dua kaleng kopi dari vending machine dan sok asik menawarkan satu pada Tzuyu, "Buat temen baca," katanya santai, padahal jantungnya deg-degan menunggu jawaban. Tzuyu selalu bilang "Makasih" dengan nada datar, tapi dia tak pernah menolak—dan itu cukup bagi Yugyeom untuk terus mencoba.

Puncaknya terjadi saat malam minggu di kampus, saat ada pemutaran film outdoor di lapangan utama. Yugyeom tahu Tzuyu akan datang—dia dengar dari temen Tzuyu bahwa dia suka film klasik. Dia sengaja datang lebih awal, duduk di barisan belakang, dan menyisakan tempat kosong di sampingnya. Ketika Tzuyu muncul, sendirian dengan jaket tipis dan buku kecil di tangan, Yugyeom melambai pelan. "Sini, aku simpen tempat," katanya dengan senyum yang terlalu lebar untuk disembunyikan.

Tzuyu ragu sejenak, tapi akhirnya duduk. Film dimulai, tapi Yugyeom tak benar-benar nonton—matanya sering melirik Tzuyu, yang tampak tenggelam dalam cerita di layar. Di tengah film, angin malam mulai dingin, dan Yugyeom melihat Tzuyu menggosok tangannya pelan. Tanpa pikir panjang, dia melepas jaketnya—lagi—dan menyelimuti pundak Tzuyu. "Kamu dingin," katanya sederhana, tapi nadanya penuh perhatian. Tzuyu menoleh, matanya bertemu dengan Yugyeom untuk pertama kalinya dalam waktu lama. "Kamu nggak dingin?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.

"Aku kapten basket, Tzu. Aku kuat," jawab Yugyeom sambil tersenyum, tapi ada kilau lain di matanya—sesuatu yang lebih dalam. Tzuyu tak membalas, tapi dia tak melepas jaket itu sampai film selesai. Malam itu, di bawah langit penuh bintang dan suara akhir kredit yang pelan, Yugyeom tahu dia sudah jatuh. Bukan karena Tzuyu cantik—banyak mahasiswi cantik di Hanbit—tapi karena ada sesuatu di ketenangan Tzuyu, di senyum kecilnya yang langka, yang membuatnya ingin melindungi gadis itu, ingin jadi alasan dia tersenyum lebih sering.

Tapi Yugyeom tak tahu, di balik sikap dingin Tzuyu, hati gadis itu sudah mulai condong ke arah lain—ke I.N, mahasiswa muda yang membawanya ke dunia nada dan tawa. Dan di situlah drama sesungguhnya dimulai.



To Be Continued...

Tangled Hearts (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang