Sabtu 9 september 2017 di tanah paling suci itu adzan maghrib berkumandang dengan menggema, berseru mengajak untuk bersatu padu dalam shaf-shaf lurus, mendengungkan tasbih, takbir dan tahmid berjamaah, merangkai gerakan-gerakan ubudiayah yang indah, teratur nan elok, hingga menjadikan yang melakukannya itu bertafakkur, rendah hati, sama rata, lemah di hadapan sang pemberi Cinta, Allah Subhanahu wataala . Yang menjadi imam shalat saat itu adalah syeikh Abdurrahman Assudais. Ketua umum pengurus masjidil haram dan masjid nabawi, yang suaranya sering diperdengarkan di banyak kesempatan maupun di media elektronik.
Seperti biasanya, Masjidil Haram masih tampak riuh diselimuti ribuan jamaah yang datang dari penjuru dunia, seakan tidak pernah menampakkan suasana sepi, Masjidil Haram menyambut dhuyufurrahman dengan pintu-pintunya yang tak pernah tertutup, dengan suasana sakralnya yang tak pernah redup, dengan kesyahduannya yang tak bisa lagi digambarkan oleh hati yang gembira. Masjidil Haram berada di tempat paling suci di dunia, tempat awal mula syiar-syiar islam itu tumbuh dan berkembang hingga Syiar-syiar itu datang ke sebuah negeri yang masyhur, yang penaklukannya tanpa peperangan dan tumpahan darah, hingga bangsa-bangsa lain menyebutnya “Indonesia” negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Dan seperti biasa, kami bersiap memulai shift operasional mengawal dan menjamu jamaah haji Indonesia. Operasional pengamanan kami terbagi menjadi 2 shift selama 24 jam penuh siang dan malam. Kekuatan kami berasal dari tiga unsur berbeda, TNI/Polri, Mahasiswa dan Muqimin. Dalam satuan operasi tugas kami biasa disebut LINJAM.
Sekolompok unsur -unsur gabungan yang berada dalam daerah kerja (Daker) Makkah, menjadi kepanjangan tangan amanat pemerintah dalam menjalankan, melindungi, mengamankan Jamaah Haji di sekitar Masjidil Haram, biasa disebut Sektor Khusus Masjidil Haram (Seksus Haram).
Saat itu aku masih ditugaskan menjaga Pos komando untuk Sektor Khusus Masjidil haram di kawasan Terminal Syieb-Amir. Posko Sektor khusus masjidil harom tahun 2017 berada di samping terminal bis shalawat (saptco) atau biasa kami menyebutknya Haram 4.
Tiba-tiba sahutan dari bravo yang kupengang menggema, memanggil:
“Haram 4 – Haram 1” sautan dua kali dari pak Surnadi yang sedang bertugas di pintu Marwah (Haram 1).
“haram 4, masuk pak” jawabku semangat
“haram 1 melaporkan bahwa ada satu nenek yang tidak bisa berjalan, mereka membutuhkan bantuan dari Haram 4, untuk itu mohon segara kirimkan satu kursi roda ke Haram 1 di pintu Babussalam, dicopy” pintanya dalam singkat.
“di copy harom 4. Kursi roda segera meluncur ke Haram 1” sahutku di Bravo yang aku pegang
Akupun segera meluncur ke Harom 1 dengan membawa kursi roda yang diminta. Sepanjang jalan butir-butir merah putih masih memadati pelataran mesjidil Haram, saat itu waktu adzan isya berkumandang dan mereka sangat teratur memasuki masjidil Haram, sebagian besar jamaah memakai pakaian yang mencolok dan berwarna warni, tak lupa syal yang bertuliskan nama kloter dan kabupaten melilit di leher mereka, dan sebagiannya lagi berkumpul membentuk formasi barisan berpakain ihram sambil mengucapkan talbiah. Jamaah haji Indonesia biasa kami panggil dengan sebutan “butir-butir merah putih” ketika kami sedang bertugas di Masjidil Haram.
Sambil membawa kursi roda, kulaporkan keadaan kondisi jamaah haji Indonesia
“Haram 1/2/3 – Haram 4, melaporkan bahwa situasi di area bawah jembatan menuju ke pintu marwah dan terminal Bab Ali saat ini padat lancar. Banyak dari butir-butir merah putih bersiap-siap memasuki Masjidil Haram dengan tertib dan teratur” gumamku dalam bravo yang kupegang.
Tak salah jika orang Maroko saja kagum dan menaruh hormat kepada orang Indonesia, sebab dimananpun aku berjumpa dengan mereka ketika kusebutkan aku berasal dari Indonesia, mereka menimpali kalau orang indonesia itu baik-baik, sopan santun, ramah dan selalu tertib. Kesan itu mereka dapat dari jamaah Maroko yang pernah berhaji maupun umrah, ini berbeda dengan jamaah haji dari negara lainnya yang sering kali sikut-sikutan ketika beribadah, saling dorong-dorongan ketika thawaf. Cerita ini menjadi turun temurun, entah sudah berapa kali aku dengar cerita ini di berbagai kesempatan dalam perbincangan dengan mereka, baik di transportasi umum maupun ketika di perkuliahan, bahkan tak berlebihan ketika mereka menyebut bangsa Indonesia itu “Ahsanul khalqi fi Alam” (sebaik-baik manusia di bumi).
Hal ini kubuktikan ketika aku bertemu dengan jamaah haji Indonesia, mereka bertata krama sopan selama di Masjidil Haram, tertib dan teratur dalam beribadah dan sangat bersemangat dalam memperbanyak ibadah, tak jarang aku melihat mereka iktikaf di Masjid sembari membaca al-Quran dan berdzikir atau bahkan melakukan umrah sunnah berkali-kali dengan tertib dan khusu’.
Tak lama kemudian sampailah aku di pintu babussalam, kulihat dua orang nenek-nenek itu, yang satunya duduk di lantai selonjoran sambil mengelus kaki, dan satunya lagi berdiri menunggu datangnya kursi roda yang kubawa.
Ku dorong nenek itu dengan kursi roda menuju ke posko Seksus Makkah, melewati hilir mudik jamaah haji di pelataran Masjidil Haram.
Kuperkenalkan namaku kepada mereka dengan singkat hingga aku tahu nenek yang tak bisa berjalan itu bernama Yasminah, dan nenek yang mendampinginya bernama Komiroh.
Akhirnya tibalah kami di Posko dekat terminal Syieb Amir yang terlihat ramai lancar, banyak dari mereka menuju ke Masjidil Haram untuk Sholat Isya berjamaah, begitu tertib dan lancar, terlukis di wajah mereka pancaran kebahagian.
“Nenek dari mana kok cuma berdua?” tanyaku kepada salah satu dari mereka sambil menyodorkan dua buah teh botol sosro dan roti.
“kami dari kabupaten Padang nak, tadi kami terpisah dengan rombongan saat thawaf, nenek ini saudariku dia tidak kuat berjalan jadi nenek yang menuntunnya pelan-pelan saat thawaf dan sai” jawab nenek Komiroh
“nenek tinggal di hotel mana?”
“aduhh nenek lupa nama hotelnya nak. Tadi kami berangkat bersama-sama satu rombongan, nenek tidak tahu nama hotel nenek” sahut nenek
“oh begitu, aku lihat identitas nenek ya, nanti aku antar sampai ke hotel” jawabku lirih
Saat itu aku memeriksa isi tas punggung warna biru bertuliskan Bank BRI, sembari mencari kertas identitas dan nomer bus.
“ini apa nek, kok ada kain putih ini kain ihram atau kain kafan nek?” isengku bertanya keheranan yang sebelumnya kuduga bahwa itu adalah sehelai kain kafan,
“iya nak, ini kain kafan yang kami bawa dari Padang. Kami sengaja mempersiapkan sejak dari rumah untuk di tanah haram ini, kain kafan ini sebagai bekal kami nak, biar kalau kami meninggal di tempat ini, petugas tidak perlu susah payah mencarikan kain kafan, bairlah mereka memakaikan kain kafan yang kami bawa. Kami ikhlas jika ajal menjemput kami di tanah haram ini. Kain kafan ini sebagai pengingat kami bahwa ajal manusia tidak ada yang tahu kapan datangnya. Kami bawa kain kafan ini setiap hari dan di manapun kami berada, cita-cita kami meninggal di tanah haram ini nak” jawan nenek Komiroh menjelaskan dengan Bahasa Indonesia berlogat sumatera.
Aku pun merasa keheranan dengan cerita nenek Komiroh, dan merasa tersentuh dengan semua ceritanya, ternyata dua orang nenek-nenek di depanku ini membawa sehelai kain kafan kemanapun mereka pergi, tiba-tiba hatiku luluh mendengar cerita kedua nenek ini, mereka sudah menyiapkan perbekalan sehelai kain kafan jika tiba-tiba ajal menjemputnya. Tak terasa air mataku menetes mendengar kisah mereka, apalagi mereka sudah lama menabung untuk dapat menunaikan ibadah haji.
Setelah kudata berdasarkan kertas identitas yang dibawa, kedua nenek ini tinggal di hotel 203 kawasan Mahbaz Jin.
Akupun menuntun nenek ini untuk pulang ke pemondokannya dengan pelan-pelan, bergegas menuju ke terminal Bab Ali yang tidak terlalu jauh dari posko kami. Dua orang nenek tua yang mengajarkanku pada malam itu sebuah pelajaran berharga.
Kami pun naik bis dari terminal bab Ali ke Mahbaz jin menuju hotel 203 di sektor dua. Perjalanan yang sangat singkat melewati terowongan penghubung ke Jamarat, dan tibalah kami di Halte 1 di ujung seng hotel Nabat Mahbaz Jin. Ternyata nenek satunya sudah tidak bisa berjalan, aku pun berinisiatif untuk mebungkukkan badan dan menggendong nenek Yasminah itu namun ditolak olehnya
“sudah nak, nenek masih kuat berjalan. Jangan kasihani nenek” tolaknya halus
“nenek sudah lama menabung ingin kesini, ingin melihat ka’bah dan melaksanakan ibadah haji nenek tinggal sendiri di Padang, anak-anak nenek banyak yang sudah merantau ke daerah lain. Sebelum ke Makkah, nenek sudah bercerita kepada anak-anak jikalau nenek meninggal di tanah harom ini mohon diikhlaskan, mohon didoakan supaya kubur nenek lapang.” Gumamanya sambal kurangkul berjalan menuju ke hotel 203.
Aku pun menuntun mereka berdua menuju ke Hotel Absyi Al Ihsan. Tak terasa air mataku jatuh, saat-saat seperti itu benar-benar menjadi pengalaman berharga yang tak mungkin aku lupakan, dua orang nenek yang sudah ikhlas menerima takdir dari sang pemberi takdir.
Sampailah kami di hotel Absyi al Ihsan, ku tuntun nenek itu menuju ke kamarnya dengan lift. Mereka menempati kamar di lantai 5, dan ternyata rombongan kloter mereka di lantai tersebut masih belum datang. Ku duga mereka masih di Masjidil Haram menunaikan sholat isya atau mungkin saja melaksanakan I’tikaf.
“sampai disini ya nek, nenek istirahat di kamar, mungkin rombongan nenek masih di Masjidil Haram, nanti kalau aku bertemu mereka yang menggunakan syal orange, aku kasih tahu mereka kalau nenek sudah berada di hotel”
Tak lama kemudian tangis pun pecah, mereka semua meraung-raung menangis dalam keheningan malam itu, aku tak kuasa menahan tangisku Bersama mereka karena telah memberiku pelajaran sangat berharga, saat itu tanganku dielus-elus mereka sembari mengucapkan untaian terima kasih dalam Bahasa padang yang tak kumengerti, namun tersirat bahwa mereka mendoakan kebaikan.
“iya nek, aku kembali lagi tugas di Masjidil Haram” jawabku terisak-isak
“terima kasih ya nak sudah mengantarkan nenek, nenek tidak tahu bagaimana keadaan nenek kalau tidak ada petugas yang menemukan nenek di Masjidil Haram, ya Allah nak, nenek sudah tua nak, nenek sudah pikun. maafkan kalau merepotkan ya nak, doakan ya nak mudah-mudahan nenek Panjang umur, bisa kembali ke Padang dengan sehat selalu, biarkan perbekalan yang nenek bawa ini selalu mengingatkan nenek untuk selalu mengingat kematian, dan harapan nenek semoga menjadi husnul khatimah” jawab nenek Komirah terisak-isak
Kutinggalkan mereka dengan salam, ku basuh air mataku yang masih mengalir sambil memasuki lift menuju ke lantai dasar hotel itu. Kudapatkan pengalaman dan pembelajaran terbaik sepanjang tugasku di Masjidil Haram ini. Tak kan kulupakan 9/9/2017 ini. Pengalaman syarat ilmu dari dua nenek bersaudara itu. Pelajaran tentang kesetiaaan dalam beribadah, kesetiaan dalam menghadapi situasi sulit, dan yang paling utama kesiapan syahid di tanah haram ini. Terima kasih atas pelajaraan yang sangat berharga, semoga nenek Yasminah dan Komiroh di manapun berada tetap diberikan kesehatan dan umur yang panjang.Rendika Agustianto
Casablanca – Maroko 10/12/2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen Petugas Haji Indonesia
Short StoryPotongan dan memoar kecil kisah Mahasiswa Petugas Haji Indonesia.