Happy reading:)
Sudah berkali-kali Shila mengecek kotak pensil, tapi benda yang ia cari tidak ada. Bahkan kolong meja juga sudah di cek, tetap tidak ada.
"Gue tahu. Owen pasti penyebabnya!" Shila mengepal kedua telapak tangan. Tatapannya kini beralih pada cowok berkulit hitam dan bergigi tongos tengah mengembangkan senyuman andalan.
"Lo kenapa, Shil? Pagi-pagi gini kok udah kesel gitu," ujar Owen sambil duduk di kursi kelompok.
Yap, sekolah ini memiliki sistem duduk berkelompok. Jadi setiap kelas memiliki enam kelompok. Sementara Shila terdapat di kelompok enam bersama Owen, Dhoni, Melva, dan Tiesha.
"Pulpen gue nggak ada. Ini semua pasti lo yang bawa, kan? Ngaku deh!" gertak Shila menggebrak meja.
"Pulpen lo yang warna pink itu bukan? Tenang," jeda Owen mengambil sesuatu di dalam tas berukuran kecil. "Masih ada."
"Ampun Owen! Lo udah maling berapa pulpen di kelas ini?" Mata Shila membulat begitu menemukan alat tulis di dalam tas kecil itu dengan jumlah banyak.
"Bukan kelas ini aja, sih. Kelas lain juga, hehehe ...." Owen menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Eh, ini pulpen lo, kan?"
Shila mengamati pulpen itu dengan teliti. "Bukan, punya gue tuh warna putih. Di dalam pulpennya juga gue masukin kertas," jelas Shila.
"Kertas warna pink, bukan?" tanya Owen memastikan, dan Shila mengangguk antusias. "Itu, sih, udah dibeli sama orang lain."
Pletakk...
Shila tidak peduli dengan ringgisan Owen saat ini. Lagian pulpennya itu lebih berharga. "Gue itu baru beli kemarin. Dan dengan teganya lo jual pulpen gue."
"Tenang dong. Lagian gue punya banyak pulpen. Lo mau berapa? Dua atau tiga? Gue gantiin." Owen menunjukan beberapa bagai macam pulpen. Dari pulpen yang sudah berkarat bahkan pulpen yang memiliki hiasan boneka kecil.
"Gue nggak mau. Gue tetep mau pulpen itu balik lagi!" kekeuh Shila. Lagian ia tidak mau mendapatkan pulpen hasil maling.
"Ya udah, nanti gue suruh orang yang beli pulpennya balikin," jawab Owen.
"Awas aja kalau sampai gak ada!" Shila hampir saja mencakar wajah Owen, tapi cukup kasihan, sudah pas-pasan, kalau dicakar nanti tambah tidak berbentuk.
=Bring a Feeling=
Pelajaran Matematika sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu. Sebagian murid yang sudah mengisi jawaban mulai berlari mendapatkan nilai dari Pak Abdul. Siapa saja yang mengisi jawaban pertama dengan benar, maka akan mendapatkan tiga bintang.
"Gila, Shil. Lo udah ngisi jawaban dalam waktu sesingkat itu."
Shila berlari dan tidak menanggapi ocehan Melva barusan. Langkahan Shila memelan begitu melewati kursi cowok yang sedang duduk di kelompok dua.
Samuel, cowok itu sibuk memainkan pulpen berwarna putih dan juga terdapat gumpalan kertas pink di dalamnya.
Tunggu ... bukannya itu pulpen milik Shila. Ah, sayangnya saat ini Shila lebih sibuk pada nilai matematika. Tanpa berpikir panjang, Shila berjalan menghampiri Pak Abdul.
Samuel tersenyum kecil begitu Shila selesai menadapatkan nilai. Sedikit lagi, cewek itu melewati kursinya. Entah ada dorongan darimana, tangan Samuel langsung memegang lengan Shila.
"Eh-" Shila terperanjat kaget, ia menoleh kepada Samuel yang sudah melepaskan tangan dari lengannnya. Ah, padahal Shila mengharapkan Samuel lebih lama memegang lengannya. Eh, kenapa Shila berpikir seperti itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bring A Feeling [✔]
Teen FictionBuat apa mengharapkan seseorang yang tidak pantas untuk diharapkan? Lebah saja tahu bahwa yang manis itu pantas untuk diperjuangkan. Lalu bagaimana dengan Shila? Dia sudah mencintai Samuel lebih dalam, dan tidak semudah itu dia melepasnya. Meskipun...