Ini Aku

17 0 0
                                    

“Ibu pengen deh punya anak yang jadi guru atau nggak masuk ke kesehatan”, ujar ibu.
“Aku ngga mau, Bu”, sanggahku.
“Itu profesi yang paling besar peluangnya lho, kamu mau nyari yang kaya gimana lagi?”
“Udah lah kan anak kita yang mau menjalankannya, dia udah besar, pasti tau apa yang baik buat dia”.
“Ya gak bisa gitu dong, Pak. Anak segini masih labil, jadi belum bisa nentuin yang terbaik buat dia, masih butuh bimbingan”.
“Bu, dia udah besar...”
“Ya tetep aja, Pak....”

Setiap berkumpul pasti seperti itu. Berawal dari hanya “jadi kamu udah putusin mau kuliah dimana?”, dan berujung “udah lah, kamu ini cewek, jangan jauh-jauh, terus ambil yang peluang kerjanya besar”. Oke mungkin jika Aku masih anak SD ingusan yang manja, atau anak SMP yang katanya memasuki dewasa tapi gampang terpengaruhi hal negatif. Tak akan ada keberanian untuk mengeluarkan kalimat, “Bu, Asti boleh ya ambil kuliah di luar kota? Masih di Pulau Jawa kok”. Rasanya seperti memancing masalah saat sedang tenang-tenangnya.
Memang, di dalam rumah ini seperti ada dua kubu pendukung. Bapakku sangat mendukung jika memang Aku ingin melanjutkan pendidikan ke luar kota, tapi Ibuku, mungkin wajar bagi para orang tua yang memiliki anak gadis, sangat mengkhawatirkan jika jauh dari anak gadisnya itu.
Alasan Ibu selalu saja difaktori rasa khawatir. Yang paling mendorong Ibu untuk melarangku tidak ke luar kota adalah berita-berita di tv. Sangat maraknya berita tentang mahasiswa ataupun mahasiswi rantau yang jauh dari orang tua menjadi korban kejahatan membuat Ibu was-was jika saja aku berada jauh darinya. Pernah sewaktu aku baru berani keluar tanpa di antar Bapak untuk mengerjakan tugas kelompok ke salah satu temanku Ibu sudah menelepon, padahal setengah jalanpun belum
“Udah sampai, Kak?”, tanya ibu.
“Belum, Bu. Ini setengah jalan aja belum”, jawabku.
“Ya udah jangan lama-lama ya”,
“Iya Bu, pengennya juga cepet, tapikan Asti naik angkutan umum, bukan baling-baling bambunya punya Doraemon”.

Jangan sampai heran ya, waktu itu Aku memang anak kelas 10 yang baru memasuki semester 2 awal. Tapi orang tuaku selalu bersikap seolah aku masih saja anak umur 4 tahun yang tidak tau bagaimana cara menekan kran dispenser dengan benar.
Pada perjalanan hidupku ini banyak sekali sesuatu yang ku anggap sebuah kejutan. Banyak hal yang tanpa Aku sangka akan datang, menyapa, bahkan ada yang betah berdiam diri dalam kehidupanku sedikit lebih lama. Diluar kuasaku untuk menolak segala pemberian Tuhan. Termasuk ketika saat aku masih kecil, dulu saat belum memasuki dunia sekolah, aku adalah manusia kecil yang sangat lemah. Berharap bisa seperti anak kecil lain, bahkan penjual es krim kelilingpun iba padaku yang hanya diperbolehkan membeli corn tanpa sesendok es krimpun.
Atau penjual mie ayam yang tampak heran saat aku memesan seporsi mie ayam tanpa mie,
“Neng ini tèh beneran? Masa sayurnya saja?”,
Aku hanya bisa mengagguk dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Masa-masa dimana yang Aku rasa sangat panjang. Bukan ku nikmati dengan berlarian kesana-kemari membawa es krim dan bebas membeli permen apapun yang Aku ingin. Masa-masa dimana semua orang menilaiku lemah. Anak manja yang tidak biasa dengan keadaan luar rumah.
Aneh? Mungkin bagi sebagian orang itu hal biasa. Atau bahkan ada yang menilai dan terang-terangan bicara “manja”. Itu terjadi saat aku duduk di Sekolah Dasar, aku sangat ingat saat itu kelasku kedatangan murid baru, dan teman dekatku satu-satunya bicara,
“Kamu manja banget, aku udah punya teman baru jadi kamu jangan dekat-dekat aku lagi ya”,
Ah itu seperti bagian pertama dari setiap kejutan yang telah lama bertamu dan bersarang dalam hidupku hingga ber-bab-bab.
Setelah beberapa bulan aku duduk di kelas 1 SD, bahkan belum rampung aku menyelesaikan satu semesterku, Bapakku dipindah tugaskan ke kota lain. Yang ialah kota kelahiranku. Sebuah kota yang tidak terlalu besar, namun siapapun yang mendengar namanya akan langsung segan dan begitu menghormatinya. Kota yang menjadi awal mula sebuah cerita manusia yang memasuki dunia remaja ini dimulai.

Ramai SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang