Satu bulan berlalu dan aku sangat menikmati pekerjaanku disini. Tak hanya sebagai penyanyi kafe, aku juga mengantarkan pesanan serta menjadi kasir ketika Madam Martina atau putrinya, Roberta, sedang tidak berada di kafe. Meskipun baru sebulan bekerja, aku sudah dipercaya dan akrab dengan pemilik kafe ini. Entahlah, padahal aku termasuk pribadi yang sulit bergaul dengan orang baru. Kurasa, mungkin karena kebaikan dan keramahan mereka berdua jadi aku dapat lebih mudah mengakrabkan diri.
"Hibiska! Bawakan nampan berisi potongan pizza itu padaku!" teriak Madam Martina, pemilik kafe ini yang benar-benar berasal dari Italia, meski begitu, beliau tetap memakai bahasa Indonesia 'yang sangat baku' dengan dicampur bahasa Inggris yang sedikit tersendat.
"Baik, Madam!" sahutku. Dengan langkah cepat aku menghampiri Madam Martina.
"Kau lelah? Matamu terlihat sayu." Ujarnya sambil memperhatikanku dengan seksama.
"Ah, ya. Aku mungkin sedikit kurang tidur, Madam," jawabku sambil menaruh kotak berisi potongan pizza itu di meja. Aku lalu menujukan arah pandangku ke bawah, tak berani menatap iris mata hazel miliknya yang aku tahu saat ini sedang menatapku tajam.
"Hm, pulang dan istirahatlah. Masih banyak pelayan yang bugar hari ini," Madam Martina menatapku sambil mengunyah potongan pizza.
Tentu saja aku terhenyak dengan ucapannya, "Madam mememecatku?" Tanyaku memastikan.
Alih-alih memberi jawaban, ia justru menatapku sejenak lalu tertawa. "Ahaha, kau ini aneh sekali. Tentu saja tidak! Mana mungkin aku memecat pelayan berbakatku ini. Aku hanya menyuruhmu istirahat, dan kembalilah esok hari dalam keadaan bugar," ia mengelus puncak kepalaku. Aku tersenyum senang, sekaligus lega.
"Grazie mille, Madam." Aku menundukkan kepala sebagai tanda hormat lalu dengan segera mengambil tas yang kuletakkan di ruang istirahat para karyawan.
Saat sedang asyik membenarkan posisi tas ranselku, aku merasa ada seseorang yang berjalan cepat dibelakangku, ralat, berlari lebih tepatnya. Namun, aku acuh.
"Hibiska!" teriak Roberta, anak semata wayang Madam Martina dengan napas tersengal.
"Ya?" jawabku sedikit merasa bersalah setelah menyadari bahwa ada seseorang yang benar-benar mengejarku, Roberta.
Roberta menepuk pundakku keras-keras, "mau kemana kau?" aku meraung sebagai jawaban, namun tidak mengeluh karena sudah terbiasa dengan perlakuan Roberta yang agresif.
"Baiklah, hati-hati ya! Oh ya, jangan lupa kirimkan salamku pada tetangga tampanmu itu," lanjutnya seolah tahu jawaban dari pertanyaan yang ia telah lontarkan padaku.
Aku mendecak kesal, "Sudah kubilang berapa kali, sih? Dia sudah punya istri!" sengaja kutekankan kata 'istri'.
"Oh ayolah, mana mungkin Alfreddo akan menolak pesonaku, hm?" Roberta menaik-turunkan alisnya.
Anak ini benar-benar membuatku kehabisan kata.
thanks for reading
MAU YANG LEBIH PANJANG?! mari kita bicarakan secara kekeluargaan

KAMU SEDANG MEMBACA
HIBISKA
TeenfikceHibiska, seorang pemburu beasiswa dengan nilai pas-pasan. Tak ayal, ia pun berusaha keras mencapai impiannya dengan motto hidupnya, "sekecil apapun usaha takkan berakhir sia-sia."