PROLOG

24 1 0
                                    

Manusia dengan takdirnya itu bagaikan setangkai bunga mawar yang masih berupa kuncup, yang kemudian hari-hari berlalu semakin mekar dan menjadi sempurna, namun semakin hari bunga itu akan semakin layu dan satu persatu kelopak bunga mawar itu akan gugur. Bahkan ada sebagian bunga mawar yang belum mekar sempurna sudah layu dan mati kemudian, karena perawatannya yang tidak baik namun untuk sosok manusia, makhluk paling baik Allah ciptakan dalam bentuknya, dalam akalnya, dalam segala sesuatunya, Allah menggariskan takdir setiap manusia.

Takdir itu sudah tertulis di daun pohon Lauhul Mahfudz, takdir tentang jodoh, kematian, keselamatan, atau bahkan celaka. Semua itu telah Allah atur sedemikian rupa, dan manusia hanya tinggal menjalankan apa yang Allah perintahkan, menjauhi apa yang Allah larang, dan bersyukur dalam menjalani hidup.

Pun begitu dengan Asmara Juwita yang lahir di Garut, 8 Mei 1963. Dia merupakan sosok perempuan keras kepala, tidak mau diatur, tidak suka sekolah yang dia suka hanyalah bermain dan bermain. Dia memang gadis remaja yang seperti itu, remaja bak kupu-kupu yang terbang bebas dan indah, tanpa beban hidup pula, semua yang ia inginkan pasti terpenuhi. Ayahnya adalah seorang TNI serta tuan tanah, dan ibundanya juga seorang ratu tanah dan kaya raya. Zaman dahulu, uang Rp500,- bisa membeli apa saja. Oleh sebab itu, keluarga Asmara merupakan keluarga yang cukup berada.

Namun, meskipun Asmara yang kini sudah berusia 19 tahun hidup berkecukupan dan keras kepala, ia masih memiliki batasan sampai mana dia bisa membangkang orang tuanya. Asmara hidup dengan sikap ayahnya yang keras, tegas, dan sangat otoritas. Sampai akhirnya ayahnya memaksa Asmara untuk menikah dengan pria yang sangat-sangat sederhana, pria yang selalu mengumandangkan azannya di masjid pusat kampung halaman Asmara. Pria itu memiliki tubuh yang jangkung dan kecil, berparas tampan, bola matanya meneduhkan, hidungnya mancung, dan memiliki senyuman indah setengah lingkaran. Sangat hangat.

Pria itu bernama Adam Hamzah yang lahir di Bandung, 3 Maret 1958. sekarang usianya sudah 25 tahun, dia di undang oleh Anang -ayahnya Asmara -ke rumahnya. Dia sudah berbincang panjang lebar dengan Adam mengenai Asmara, dan terna Adam bersedia untuk melancarkan rencananya.

Pintu berwarna cokelat dan memiliki corak seperti kue lapis legit itu diketuk oleh Adam. Dia mengenakan baju kemeja putih berlengan pendek dengan salur-salur berwarna hitam, biru dongker, dan abu tua. tangannya menjinjing kantong plastik bening, terdapat satu kotak dus berwarna putih.

"Asslamu'alaikum!" ujar Adam, setelah mengetuk pintunya. Setelah dua kali mengetuk dan mengucap salam, pintu itu terbuka. Di depannya berdiri perempuan cantik, berpostur cukup pendek, dan rambut panjang bergelombang. Dia mengenakan gaun putih bercorak bunga-bunga kecil berwarna hitam, dan dia adalah Asmara Juwita.

"Wa... wa'alaikumussalam," jawab Asmara yang terbata-bata karena kaget melihat sosok jangkung yang ada di hadapannya. "Kenapa kamu teh bisa ada di sini?" tanya Asmara kemudian.

Adam hanya tersenyum hangat kepada Asmara.

"Asmara! Saha anu datang teh (siapa yang datang)?" tanya Sulastri, ibunya Asmara.

"Teuing atuh, mak(Nggak tahu, bu)!" jawab Asmara kecut, meninggalkan Adam di ambang pintu terbuka tanpa menyuruhnya masuk, pun begitu Adam tetap mematung di tempat yang sama tanpa bergerak sedikit pun.

"Eh, maneh mah teu bener (Nggak betul kamu)! Ini emak kagok keur di cai (ini ibu tanggung lagi di toilet)!" teriak Sulastri yang sedang ada di toilet.

"Ada apa ieu teh meni pada ribut-ribut?" tanya Anang yang berjalan ke ruang tengah kemudian melihat wajah Asmara yang kecut, bibirnya mengerucut 50 senti, Asmara sedang duduk di sofa ruang tengah. Cahaya dan angin yang masuk ke dalam rumah dari pintu ruang tamu yang terbuka gamblang membuat Anang penasaran siapa yang datang.

"Eh, Jang Adam! Ternyata kamu teh menepati janji kamu ya," ucap Anang sumringah. Dia memeluk tubuh jangkung Adam.

"Assalamu'alaikum, pak!" ucap Adam sembari mencium tangannya Anang setelah selesai berpelukan.

"Wa'alaikumussalam, hayu kadieu lebet!" ajak Anang mempersilakan masuk dan duduk di kursi sofa berwarna merah maroon di ruangan bercat putih ini.

"Hatur nuhun (Terima kasih), apak!" ucap Adam dengan senyuman hangatnya itu.

"Asmara! Ambilkan air, neng!" titah Anang sembari sedikit berteriak.

"Mangga (silakan)!" jawab Asmara terdengar tidak ikhlas.

"Maafkan ya, Dam. Dia memang perempuan seperti itu, dia keras kepala, dan susah di atur. Apak sangat mengharapkan kamu bisa menuntun dia dan mengubah dia menjadi sosok perempuan yang penurut dan sholehah seperti kamu yang soleh," papar Anang.

"Insya Allah, Pak! Jika Asmara bersed-,"

"Ulah (jangan)! Pokokna mah si Asmara kudu jeung kamu, Adam! Ngarah lamun apak teu aya di dunia teh tenang hate apak teh, Adam (supaya, jika bapak nggak ada di dunia hati bapak bisa tenang, Adam)!" ucap Anang yang berdedikasi tinggi dan kekeh pada kemauannya, meskipun di hadapannya sudah ada Asmara yang sedang menaruh minuman di meja.

"Aku tidak mau menikah, Apak! Jangan rebut masa mudaku!" teriak Asmara dalam hatinya yang sangat bergejolak. Sampai-sampai tangannya yang memegang gelas untuk disuguhkan ke Adam bergetar dan tumpah mengenai kaki Adam, celana hitamnya basah kuyup.

"Asmara!" bentak Anang, "teu sopan siah maneh (Nggak sopan kamu)!" lanjut Anang, yang terdengar sangat marah.

"Aku nggak sengaja, Apak!" bantah Asmara.

"Tidak apa-apa, pak. Ini bukan masalah besar. Jangan marahi Asmara, dia tidak sengaja," tutur Adam yang terdengar sangat menyejukkan.

Sulastri pun datang ke ruang tamu, dia mengusap punggung Asmara dengan lembut yang kemudian Anang memperkenalkan Sulastri kepada Adam. Asmara yang akan beranjak pergi disela perbincangan antara Sulastri dan Adam kemudian di cegah oleh Sulastri. Ditariknya tangan Asmara dan memaksanya untuk duduk meskipun dia sudah meronta dan menolak. Namun akhirnya, dia memenuhi permintaan ibunya.

"Adam? Kapan kamu akan melama-," perkataan Anang terputus.

"Jangan rebut masa mudaku, apak!" bentak Asmara, menolak.

Adam yang melihat sikap Asmara dan mendengar perkataannya, malah tersenyum dengan senyuman pamungkasnya. "Aku sudah bertekad, Asmara. Kamu akan menjadi kekasih halalku sampai maut saja yang akan memisahkan kita," tutur Adam.

.

.

Nah, gaes! Udah update nih prolognya. Oh ya, karena latarnya emang di garut, jadi ada selingan bahasa sunda. But, don't worry! Because i have added the translate.

Jangan lupa, tap bintangnya ya, berikan komentarmu juga.

Love you gaes:*

Salam Hangat,

dari Kharisma Shaqueena (Kharis/Kris)

pye pye:)

24.04.2019

Bunga Cinta untuk AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang