BAB 1: Pemuda Asmara

14 1 0
                                    

SELAMAT MEMBACA!:)

Kamu itu bagaikan madu dalam bunga dan aku adalah lebahnya. Bunga di ciptakan serta madunya agar lebah bisa makan. Begitu pun, kamu di ciptakan agar aku bisa memilikimu.

***

Allahu akbar Allahu akbar

Allahu akbar Allahu akbar

Ashadu an laa ilaaha illallah

Ashadu an na Muhammad ar Rasulullah

....

Azan subuh sudah berkumandang, terdengar begitu merdu dan segar. Di lantunkan oleh seorang pemuda tampan dan gagah itu.

"Mangga (Silakan), pak, maju ke depan!" ujarnya ramah, kepada para ahli masjid yang sudah mulai berdatangan ke mesjid. Sembari menunggu sang imam datang, pemuda itu melaksanakan salat sunat rawatib.

Selang beberapa saat, sang imam pun datang. "Assalamu'alaikum!" serunya.

"Wa'alaikumsalam," jawab para ahli masjid.

Pemuda itu berada pada saf pertama, dan langsung mengumandangkan iqamah.

"Mangga, ka sadayana (Silakan, kepada semuanya). Luruskan safnya!" perintah sang imam.

Seluruh penghuni masjid, perempuan dan laki-laki di sini dengan khidmat melaksanakan salat subuh berjama'ah. Peristiwa seperti inilah yang paling dirindukan dan membuat perdamaian di ampun Sari ini. Agama yang masih tercium pekat, dengan segala hal adat dan istiadatnya, serta kelompok-kelompok agama yang masih fanatik.

Setelah usai salat berjama'ah, para penghuni masjid mulai bubar, digantikan dengan anak-anak yang mulai berdatangan masuk ke dalam masjid, dengan usia sekitaran delapan sampai dua belas tahunan. Mereka –sekitar lima belas orang membawa al-qur'annya masing-masing dan sangat girang melihat pemuda yang sedang duduk sembari tersenyum menatap mereka.

"Assalamu'alaikum, A!" ujar mereka girang.

"Wa'alaikumsalam, kemari cepat!" balas pemuda itu sembari melambaikan tangan, tanda mengajak.

Mereka duduk membentuk sebuah lingkaran. Ini merupakan sebuah rutinitas yang biasa terjadi, mengaji al-qur'an di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Tidak semua anak-anak di sini suka mengaji pada pagi hari, karena suhu dingin Kampung Sari ini begitu menusuk dan menyegarkan, namun bukankah pemikiran setiap anak berbeda? Hanya anak-anak yang mampu melawan malasnya bangun pagi yang bisa mengikuti kegiatan mengaji pagi ini.

"Ayo,baca ta'awudz dulu!" titahnya sembari membuka kitab suci di hadapnnnya, "dan lanjutkan bacaan yang kemarin," imbuhnya.

Serentak anak-anak membaca ta'awudz dan membaca surat lanjutan kemarin. Meskipun ada beberapa anak yang belum lancar serta bagus dalam mengajinya, percayalah pemandangan seperti ini merupakan hal yang indah.

"Baiklah, sekarang A Adam tes perorangan, ya!" ujaranya lembut. Ya, pemuda tampan, gagah, muazin bersuara merdu, serta guru mengaji ini bernama Adam, Adam Hamzah.

"Iya, A!"

"Baik, mulai dari sebelah kanan. Silakan, Radit!"

Anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahunan itu mulai membaca bagian dari Q.S. Al-Maidah itu.

"Radit, berhenti dulu, sejenak!" potong Adam, membuat Radit terhenti, "coba perhatikan! Di sana 'kan ada 'nun mati' menghadapi huruf 'kho' berarti hukumnya idzhar, artinya?" tanya Adam.

"Idzhar?" tanya Radit ragu dan berpikir. "Di baca jelas?" tanya Radit kemudian.

"Iya, pintar. Coba ulang!"

Bunga Cinta untuk AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang