bagian satu

12 1 0
                                    


Bangunan itu nampak kokoh berdiri di antara dua asrama di kanan dan kirinya. Di halamannya nampak pepohonan rimbun tumbuh berjejer, sangat tertata rapi. Bangunan yang berumur kepala empat itu menamai dirinya sebagai sekolah kedisiplinan, karna memang yang sekolah di sana hanya anak-anak yang juga tinggal di asrama. Di sebelah kiri sekolah iti berdiri sebuah asrama putra, sedangkan di sebelah kirinya asrama putri.

Mungkin sebagian dari orang tua siswa di sekolah itu sengaja memasukkan anak-anak mereka ke sana dengan tujuan agar anak-anak mereka dididik kedisiplinannya, karna terdata sebagian besar siswa di sana memiliki sifat pemberontak dan terbilang nakal.

Lain halnya dengan Liza. Gadis berkacamata minus itu sengaja memilih sekolah di sana karna keinginannya sendiri. Sejak mamanya meninggal, ayahnya jarang berada di rumah, sibuk dengan pekerjaannya. Rasa kesepianlah yang membuat Liza memilih pindah ke sekolah kedisiplinan itu. Mungkin menurutnya itu akan lebih baik baginya. Dengan pindah ke sekolah itu, dia tidak akan merasa kesepian lagi menjalani harinya. Meskipun ia tau, ayahnya sangat tidak setuju dengan keputusannya itu dengan alasan bahwa sekolah itu akan sangat tidak baik baginya karna di sana banyak anak-anak nakal yang mungkin saja akan mencelakakan Liza. Meski ragu, tapi tidak diperdulikannya kekhawatiran ayahnya itu. Karna menurutnya ayahnya itu hanya terlalu khawatir, dan ia yakin bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan dirinya.

Terbukti sudah seminggu sejak Liza datang ke sekolah asrama itu, dan ia masih merasa aman-aman saja.

Sebenarnya niat Liza nekat pindah ke sekolah itu bukan murni semata-mata karna untuk mengusir kesepian, tapi ada sosok seorang makhluk tampan yang ikut melatar belakangi kepindahannya ke sekolah itu. Dia adalah Hanbin, Hanbin Adi Putra, kakak kelasnya sewaktu SMP, dan ia sudah menyukai cowok itu sejak dulu.

Liza memasang senyum lebar ketika sepasang indra penglihatannya menangkap sosok Hanbin berada tidak jauh darinya.

"Liz," tegur Yoojung, teman sekamar Liza sekarang.

"Erliza Maharani!" tegur Yoojung lebih keras lagi, kali ini dengan memukul pelan pundak Liza.

"Eh, iya?" Liza tersadar.

"Bengong aja dari tadi. Kita tuh harus ke kelas sekarang, ntar kalo telat malah kena semprot bu Dara. Ayo!" Yoojung pun menarik tangan Liza untuk segera masuk kelas.

***

"Yoojung!" panggil Liza pada teman sekamarnya itu.

"Hm?" sahut Yoojung yang tadinya sedang membaca buku di meja belajar mereka, sementara Liza duduk di tepi kasur.

"Kamu tau sama ka Hanbin nggak?"

"Kak Hanbin?" Yoojung terlihat berpikir sebentar, "Kak Hanbin ketua asrama cowok itu?"

"Hee nggak tau juga sih"

"Soalnya yang namanya Hanbin di sini setauku cuma dia deh. Emang kenapa?"

"Kamu tau kelasnya kak Hanbin?"

"Kalau nggak salah sih kelas 3A. Emangnya kenapa sih?" Yoojung semakin penasaran.

"Nggak kenapa-napa," jawab Liza sambil senyum-senyum.

"Jangan bilang kalau kamu naksir kak Hanbin?"

"Emang kenapa?" kali ini Liza yang nampak penasaran.

"Kak Hanbin itu kan pacarnya kak Jennie"

"Kak Jennie yang di kamar sebelah itu?"

"Yup!"

Wajah kecewa nampak terukir jelas dari wajah Liza. Bagaimana tidak, cowok yang sudah lama ditaksirnya keburu diambil orang. Huhu.

Otak Liza mulai bekerja cepat. Kak Hanbin memang kekasih Jennie, tapi bukan berarti dia tidak boleh menyukai cowok itu kan?

***

Liza melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah dengan semangat. Ia sengaja berangkat tidak bersama Yoojung karna ada target yang ingin dituntaskannya pagi itu.

Degup jantung Liza semakin tak karuan ketika langkahnya sudah berada di depan kelas 3A, kelas Hanbin. Diberanikannya langkahnya memasuki kelas itu. Sebuah surat dengan perekat berbentuk hati sebagai penutup surat itu, terselip di belakang tubuhnya.

Liza berniat mengutarakan perasaanya lewat surat itu. Walaupun sekarang Hanbin sudah ada yang punya, tapi ia ingin Habin tau tentang perasaannya. Bagaimanapun ia sudah jauh-jauh pindah ke sana demi cowok itu bukan?

"Permisi, kak," sapa Liza pada kakak kelas yang nampak bergerombol.

"Ya, kenapa?" sahut salah seseorang.

"Kak Hanbinnya ada?"

"Nggak ada. Belum datang kali"

Ekor mata Liza menyusuri ruangan kelas. Memang nampak sepi karna banyak yang belum datang, dan belum terlihat Hanbin juga di sana.

"Makasih, kak. Saya permisi dulu," pamit Liza.

Namun langkah Liza tercegat, karna lengannya tiba-tiba ditarik oleh salah seorang dari kakak kelas tadi.

"Mau ke mana lo, cupu? Di sini aja dulu," ucapan kakak kelas yang di name tag-nya tertera nama Bobby Dirgantara itu membuat Liza sedikit takut.

"Eh, gue baru kali ini liat lo. Anak baru ya?"

"Iya, kak," angguk Liza.

"Lo cantik juga," Bobby tiba-tiba mengambil kaca mata Liza.

"Kak! Balikin!"

"Lo mau kacamata lo balik? Oke. Tapi syaratnya lo harus nyium gue"

"Hah?" Liza terbengong.

"Atau lo maunya gue yang nyium lo? Gak masalah sih"

Dan gelak tawa seolah mengiringi pertunjukkan itu.

Liza meringis dalam hati. Benar-benar sekolah anak-anak nakal!

"Maaf, kak, tapi aku harus pergi"

Tapi lagi-lagi langkah Liza yang ingin pergi kembali dicegat.

"Pokoknya lo nggak boleh sebelum nyium gue dulu!" Mata sipit milik Bobby menatap Liza tajam, membuat gadis itu semakin takut.

Liza sudah ingin menangis rasanya. Papa tolong!

Sebelum seseorang tiba-tiba datang dan berdiri di antara Liza dan Bobby dengan posisi menghadap Bobby dan membelakangi Liza.

"Lo mau dicium? Sini biar gue kasih!" orang itu menunjukkan kepalan tangannya tepat di depan wajah Bobby.

"Apaan sih lo, Junedi? Ganggu aja sih!" Bobby mengomel walaupun akhirnya mundur juga karna ia tau ia tidak bisa melawan cowok yang sekarang ada di hadapannya itu.

Cowok itu pun berbalik menghadap Liza. Liza terlonjak mendapati wajah cowok itu begitu dekat dengannya. Sepasang mata mereka beradu membuat Liza seketika menahan napasnya. Jangan-jangan cowok ini yang ujung-ujungnya minta cium sama dia!

Eh?

Liza tersadar ketika merasakan kacamatanya sudah kembali ke tempatnya. Liza mengerjapkan matanya beberapa kali sampai tersadar sepenuhnya ternyata cowok tadi yang memasangkan kembali kacamatanya di wajahnya.

"Balik sana!" ucap cowok itu dengan judesnya.

"Uh? Uh.. iya- makasih, kak," Liza tergagap lalu cepat berlari meninggalkan kelas itu.

Cowok itu, June Abian, memandang langkah Liza yang berlalu dengan wajah datar. Sebelum Mata elangnya menangkap sebuah surat yang tergeletak pasrah di lantai kelas. Dipungutnya surat itu, surat yang sama dengan yang dibawa Liza tadi.










Stuck - Koo JunhoeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang