Bola mata coklatnya bergerak menikmati ritme kehidupan jalanan yang menjadi tontonan mengasyikannya selama dua tahun. Tidak monoton, bergerak konstan. Sebuah hiburan yang paling nyata di banding acara televisi yang pernah ia tonton di rumahnya. Ada sedikit gairah yang meletup ketika melihat perjuangan manusia yang berdesakan diiringi hiruk pikuk seolah sedang mengikuti lomba siapa yang cepat sampai di tempat tujuan.
Teriakan manusia, raungan knalpot motor dan lengkingan klakson bersatu padu membentuk harmoni yang indah di pagi hari. Menyelaraskan kehidupan yang tak pernah sepi.
Bibir coklatnya yang tidak tersentuh pemerah bibir itu mengembang perlahan tatkala pesanan sarapannya hadir di depan matanya.
"Terimakasih." Perempuan berambut kuncir kuda itu membungkuk sedikit lalu mengecek jam di layar handphone miliknya yang berada di tangannya. Bagus, masih banyak waktu untuk bersantai.
Dia menghembuskan napas dengan keras lalu mengangkat kedua tangannya untuk merenggangkan diri. Badannya masih terasa remuk dan kaku setelah dipaksa lembur hingga jam sepuluh malam. Ketika sampai di rumah semalam, dia menempelkan beberapa lembar koyo di sekitar bahu. Hingga kini rasa pegal masih terasa di atas badannya. Bahkan saat ini dia membiarkan beberapa koyo itu menempel di sana.
Setelah merasa sedikit membaik, dia mengaduk sarapannya perlahan. Asapnya masih mengepul menerpa wajahnya yang kini berjerawat di sekitar di bawah dagu. Sedikit tapi mengganggu. Ralat, sangat mengganggu. Jerawat itu membuat dia mengaduh kesakitan ketika tidak sengaja menyentuhnya yang bertengger di sana. Sepertinya bentar lagi darah bakal datang.
Raungan nada dering dan getaran handphone miliknya membuat dia menghentikan suapannya. Ada nama Baginda Raja yang tertera di sana. Dia menyentuh warna hijau dan menggesernya ke kanan.
"Hallo, Pak. Assalamualaikum?"
Mulutnya mengunyah perlahan setelah berhasil dengan suapan pertama. Dia meraih tempat sambal dan menuangkan di atas mangkoknya dan mengaduk kembali agar sambal tadi tercampur sempurna.
"Waalaikumsalam Sarinnah kesayangan Mama."
Tangannya berhenti mengaduk. Dahi perempuan itu berkerut sebentar, "loh, ini Mama? Kirain Bapak. Kenapa Mama pake punya Bapak. Punya Mama emangnya kenapa? Rusak lagi? Padahal belum lama Bapak beliin handphone baru loh itu."
Dia menutup mulutnya dengan tangannya berusaha menyembunyikan tawa, dia yakin Ibu tercinta di seberang sana pasti sedang manyun di samping Bapak. Kekasih sejatinya yang selalu membuatnya iri hingga kini.
"Ih, sorry ya. Handphone mahal itu. Merek beken. Masa iya Mama tega rusakin hadiah dari Bapak. Handphone Mama lagi di charge - lah. Dasar sok tahu kamu, nak. Ih, sebel banget sama anakmu, A."
Derai tawa Bapak terdengar tatkala Mama mengadu kepadanya.
Sudut bibir perempuan itu naik mendengar interaksi kedua orangtuanya. Dia sangat menyukai suara mereka yang saling beradu seolah ingin memberitahukan kepada dirinya bahwa itulah bahasa cinta mereka. Histeria dan rengekan Mama pada Bapak bukan seperti anak SD yang main papa-mama atau anak remaja yang baru mengenal cinta. Kata Bapak, suara rengekan Mama itu cinta. Ah, dia tidak mengerti kenapa Bapak menganalogikan rengekan Mama seperti itu.
Dia sangat hapal di keluar kepala tentang kisah cinta orangtuanya dulu. Sejak kecil, Mama selalu menceritakan berulang-ulang bagaimana dan dimana mereka bertemu. Nama tempat bertemunya merekapun diabadikan lewat namanya. Yup, tadi Mama sudah menyebut namanya, Sarinnah. Tempat pusat perbelanjaan yang terkenal di kawasan Menteng hingga saat ini. Tempat sejarah bertemunya mereka. Orangtuanya.
#littlebees
#littlebeeschallenge
#1stday
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarinnah
General FictionCerita tentang seorang perempuan yang tinggal di sebuah tempat yang tak perlu kau tahu namanya.