.

23 2 0
                                    

"Deen! aku benci perpisahan, bisakah  kamu tetap disini? terus temani aku". tangisku pecah

"hey liat kita. liat! gausah cengeng, kaya anak kecil !".  Rani berusaha menenangkan.

bukannya diam, tangisku semakin menjadi, semakin seru tak tertahankan.

"kita pisah cuma sementara. lanjutkan pendidikanmu, buktikan pada mereka yang meremehkanmu bahwa kamu mampu. kita akan tetap saling support. prioritas kita tak lagi sama. jalani hidupmu sebagaimana mestinya." sambungnya lebih lembut dan memelukku hangat.

Deen, nama yang cukup singkat untuk sebuah perkumpulan teman bermain. nama boleh saja singkat, namun kenangan bersama mereka tak sesingkat itu. karna bersama mereka, meski sederhana, nyaman dan bahagia selalu menyertai.

kami, anggota Deen seperti halnya perkumpulan teman yang lain. kami beranggotakan enam anak, masing-masing dari kami memiliki keunikan. sedikit kelebihan dari kami, namun itu bukan permasalahan. justru, dengan adanya sedikit kelebihan dan banyaknya kekurangan itulah yang membuat kami semakit erat dalam berteman.

Hari ini, dibulan yang penuh berkah, ditahun menakjubakan, aku harus berpisah dengan mereka, aku harus menyimpan sejenak tentang mereka dalam kotak yang kusebut Rinduku. untuk kotak ini, aku tidak bisa meninggalkan dalam jauh, aku membawanya ikut serta dalam perjalanan pendidikanku diperantauan.  

tangisku tak berangsur reda, aku terjebak dalam nyaman dipelukan Rani. aku merasa semakin banyak yang memeluk, pelukan yang erat dan penuh kasih sayang.

Tuhaan, ku mohon, jangan percepat waktu ini, aku masih ingin berlama-lama dengan mereka.

semakin lama semakin erat, ini membuktikan bahwa masing-masing dari kami masih belum rela berjauhan. tangis merekapun satu persatu semakin terdengar. Rani yang kukenal susah menangispun, saat ini tangisnya pecah dalam peluk pisah ini.

"sudah sudah! gak usah kebanyakan drama. kalau kaya gini terus, kapan Rara akan berangkat?" ucap Dilla sembari melepas pelukan kami satu persatu.

"Ra . . . jangan pernah lupain kita, sesukses apapun kamu kelak, ingatlah selalu kita Deen ." Nana berusaha menahan tangisnya.

aku tak mampu berucap apapun. aku tak bisa membayangkan bagaimana nantinya.


Tuhan, jaga mereka. mereka permataku. izinkan kami berkumpul kembali. 

bisikku lagi pada Tuhan.


"ayok Ra,, kereta sebentar lagi datang." ajak Ayahku

"ayah, bolehkah Rara sekali lagi memeluk mereka?" tanyaku terbata-bata

tak peduli apapun respon ayahku, langsung saja aku berlari balik memeluk mereka lebih erat dan singkat dari sebelumnya.

Teruslah saling mendoakan meski jarak  tak memungkinkan kita sering bertemu. aku pamit.  Bisikku pada mereka, pelan.

alarm peringatan kereata sudah berbunyi. tidak ingin tertinggal, segera aku berlari menyusul ayahku.


perpisahan  ini lebih berat yang kubayangkan. lebih rumit dari yang kurencanakan, dan lebih dramatis dari yang ku angankan.

baik-baiklah, aku akan kembali sesegera mungkin. semoga kita akan tetap saling megerti, meski prioritas kita sudah tak lagi sama Deen.

kuukirkan sebait pada langit and see you next time comfort zone.

Love without coupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang