“Ayah…..! Ayah….! Ayah….!” panggilan histeris dari seorang pemuda. Melihat ayahnya di borgol oleh para polisi. Ayahnya berbalik dan tersenyum. Senyum yang menyayat hati seorang pemuda itu. Apa salah ayahku? Itulah yang terus ia pikirkan. Hingga ayahnya sudah berada dibalik jeruji besih ia masih dalam keadaan tidak terima. Rasa sakit yang ia terima membuat ia bertekat untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya. Pada akhirnya ia mendapatkan beasiswa di Fakultas hukum.***
Pemuda itu bernama Muhammad Reza Ramadan dan kerap kali ia dipanggil Reza. Ia adalah seorang pemuda yang piatu alias tidak memiliki ibu. Ibunya meninggal saat ia dilahirkan. Ayahnya seorang petani yang sedang menggarap lahan kosong yang tidak jauh dari rumahnya. Ayahnya bernama Ahmad.
Sebagai satu-satunya orang tua yang membesarkan seorang anak, bapak Ahmad menjadi satu-satunya sosok yang paling berarti bagi Reza. Penghasilan dari lahan tani membuat mereka berdua merasakan kerasnya kehidupan dunia. Sering kali mereka mendapatkan penindasan dari masyarakat kalangan atas. Apalagi Reza yang berada dibangku pendidikan. Namun penindasan itu tidak membuat Reza putus sekolah. Ayahnya sangat berusaha agar anaknya bisa bersekolah hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Hingga Reza berumur enam belas tahun keadaan ekonomi mereka semakin membaik. Makanan, pakaian dan semua kebutuhan hidup mereka berdua berubah drastis. Hingga Reza merasa ada yang mengganjal.
“Ayah, uang ini dari mana semua?” Tanya Reza kepada ayahnya.
“Allhamdulillah nak, hasil panen akhir-akhir ini lumayan banyak nak” ucap pak Ahmad kepada anaknya.
“Alhamdulillah, semoga Allah selalu memberkahi rezeki kepada kita ya Ayah!” ucap Reza dengan penuh syukur. Sang ayah tersenyum dengan sedikit berbeda seakan senyuman yang menutupi ketakutan.
Malam itu adalah malam yang penuh kebahagiaan. Seperti hujan berkah rezeki sedang membanjiri hidup mereka. Hari-hari dilalui tanpa ada kesulitan. Sang ayah senang bekerja dilahan pertanian dan sang anak senang dalam kehidupan pendidikan. Tidak ada lagi penindasan yang menyelimuti kehidupan mereka.
Hari-hari berlanjut hingga tak terasa umur Reza sudah berumur tujuh belas tahun. Keadaan ekonomi keluarga pak Ahmad semakin membaik. Hingga ia memiliki fasilitas hidup yang semakin baik. Malam itu Reza membicarakan rencana masa depannya kepada ayahnya.
“Yah!, aku mau kuliah di jurusan kedokteran” ucap Reza kepada ayahnya yang sedang melihat data pemasukan pertaniannya yang berada diluar kota.
“Kamu mau jadi dokter?” Tanya pak Ahmad.
“Iya, Yah!” ucap Reza singka.
“Baikla, ayah akan berusaha menyekolahkanmu di kedokteran” ucap pak Ahmad mendukung jalan terbaik untuk anak satu-satunya.
“Terima kasih Yah, tapi saya akan berusaha mendapat beasiswa untuk kesana. Doakan Reza Yah!” ucap Reza dengan penuh tekad.
“Baiklah, ayah selalu berdoa untukmu” ucap pak Ahmad semari menganggukkan kepala dan tersenyum. Reza juga ikut tersenyum sebab ia bahagia jika ayahnya menyetujuinya.
Lagi-lagi malam itu penuh dengan kebahagiaan. Menatap masa depan yang sudah terencana dengan baik. Kesuksesan dijalur kedokteran membuat keputusan yang telah membuat mereka bahagia. Apalagi disaat Reza bertekad untuk mendapat beasiswa di kedokteran. Hal itu pak Ahmad sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sebab telah menitipkan seorang anak yang luar biasa.
“Ada apa ini…..?” “Ada apa dengan Pak Ahmad….?” Suara gemuruh didepan rumah Reza. Sayup-sayup Reza mendengarnya. Perlahan matanya menembus cahaya, suara-suara itu membuatnya terbangun dari tidur lelapnya. “Pak Ahmad kenapa?” seketika Reza keluar kamar setelah sepenuhnya sadar jika suara-suara gemuruh itu sedang membicarakan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Salah Ayahku?
Short Story"Ayah.....! Ayah....! Ayah....!" panggilan histeris dari seorang pemuda. Melihat ayahnya di borgol oleh para polisi. Ayahnya berbalik dan tersenyum. Senyum yang menyayat hati seorang pemuda itu. Apa salah ayahku? Itulah yang terus ia pikirkan. Hingg...