Nara menatap nanar gunung yang menjulang di hadapannya. Ia telah melalui bebukitan terjal untuk sampai di kaki gunung ini. Nafasnya tersengal-sengal manakala kakinya menelusuri jalan setapak yang sempit dengan semak-semak belukar yang tinggi di setiap sisi.
Jadi dia harus mendaki gunung itu? Senyum sinis tersungging di bibirnya, disusul dengan tawa kering bertubi-tubi. Ia tak pernah merasa sekonyol ini. Ia mulai menimbang-nimbang untuk memutar tubuhnya, kembali ke bawah, pulang ke kota, tempat peradaban telah tegak di sana. "Ya, aku sebaiknya kembali saja. Ini konyol, benar-benar tolol!" umpatnya.
Baru saja kakinya memutar sembilan puluh derajat, sesosok manusia tegap berambut ikal dengan wangi tembakau di sekujur tubuhnya, menghadang Nara. Tatapannya lurus ke mata Nara, tanpa menyiratkan tanda tanya.
"Sudah terlambat untuk menyerah. Nona telah ditunggu oleh Tuan Guru dan dia tak suka jika waktu saya terbuang percuma." Suaranya terdengar datar namun pandangan matanya terlihat dingin.
Nara menduga, lelaki itu sengaja mengirim seorang jawara tengil hanya untuk menyiksanya. Mungkin kehidupan rimba telah mengubah watak lelaki itu menjadi seorang yang bengis. Jika tidak, mengapa ia harus mengirim si kurus tegap dengan langkah yang panjang dan terburu-buru sebagai penjemputnya?
Nara yang terbiasa berolahraga, sungguh kewalahan mengikuti langkah kaki orang ini. Dia bahkan tak peduli ketika Nara berkali-kali memekik karena kulitnya menyambar ranting kering atau ketika berpapasan dengan ular. Si kurus tegap hanya menoleh sebentar lalu menghalau sang ular untuk mengubah arah. Jika dipikir-pikir, orang ini sepertinya bisa berkomunikasi dengan ular itu. Tanpa harus membunuhnya, sang ular melengos menuju semak-semak setelah bertatapan sejenak dengan si kurus tegap.
Nara bergidik membayangkan kembali pertemuannya dengan ular tadi. Seumur hidup ia tak pernah sekali pun berpapasan dengan binatang panjang yang paling ditakutinya itu. Pantas jika Mas Ryu bilang bahwa binatang yang paling ditakuti manusia adalah binatang melata, salah satunya dari jenis ular. Manusia mengendapkan trauma genetik yang dibawanya sedari mereka masih pengelana di alam rimba. Ular adalah pengancam eksistensinya saat itu, bahkan hingga kini setelah manusia menjadi predator yang paling berbahaya. Ular tetaplah binatang yang licin, licik, dan ditakuti.
"Non, kita harus lebih cepat sebelum kabut semakin tebal. Maafkan saya, tapi ini mendesak," tangan Nara tiba-tiba ditariknya, lalu ia lingkarkan pada lehernya. Dengan gerakan yang cepat, si kurus tegap mengangkut tubuh Nara hingga menempel di punggungnya. Ia berlari kencang menebas jalanan yang terus menanjak di hadapan mereka. Nara berteriak-teriak tak karuan, ia merasa seperti berada di bioskop berteknologi Imax,lpp0 menyaksikan dan mengalami adegan petualangan yang paling berbahaya. "Hei, lepaskan,"Nara memukul-mukulkan tangan kanannya pada dada si kurus tegap, tangan kirinya tetap melingkari leher yang kekar dan panjang itu. Si kurus tegap tak peduli, terus saja berlari menerjang jalanan, semak-semak dan pepohonan yang menjulang.
Nara akhirnya pasrah, ia hanya bisa mengeratkan pelukan tangannya pada leher si kurus tegap. "Kala, maafkan aku karena tak mendengarkanmu. Mungkin kebodohanku memang pantas diganjar dengan kematian yang konyol dan tragis. Tuhan, selamatkan aku." Nara berkeluh kesah dalam hatinya. Meski pasrah, ia ingin memercayai harapan terkecil sekalipun. Demi Kala, untuk masa depan dan kebahagiaan dirinya. Nara menutup mata, menelungkupkan kepalanya pada leher si kurus tegap. Wangi tembakau sedikit menenangkannya.*****
Arsan, Imah Akang pukul 04.00 menjelang subuh.
Angin dingin menerpa sekujur tubuhnya, namun ia tak terusik. Ia duduk tegak, bersila di atas batu pipih yang cukup besar, tangannya bertumpu pada paha yang terlipat. Matanya lurus menerobos kegelapan. Rambut ikalnya tergerai sebahu, bertebaran disedak angin. Satu jam kemudian, ia berdiri sambil menggosok-gosok kedua tangannya. Ia lalu berjalan ke arah rumah kayu yang lebih besar dari dua puluh tiga rumah lain yang berdiri di sekelilingnya.
Ia berdehem sebelum menyapa penghuni rumah.
"Masuklah," suara itu terdengar berwibawa. Suara yang membuat para penduduk di sekitar rumahnya tertunduk, tanpa mampu menembus mata sang pemilik.
Arsan menurut. Hanya ia yang berani menatap dan bersikap leluasa kepada sang pemilik suara. Ia menutup pintu lalu berjalan santai menghadap seorang lelaki muda yang tengah duduk menyandar pada dinding kayu, memangku sebuh buku yang nampak terlalu tebal bagi Arsan.
"Guru," sapanya sebelum ia dipersilakan duduk.
Arsan menunggu beberapa menit sampai Tuan Guru menyelesaikan bab terakhir bacaannya. Hal yang selalu ia dapatkan setiap kali menghadap sang Guru. Seringkali tiga sampai empat tembang habis ia nyanyikan dalam benaknya sembari menunggu. Tapi kali ini cukup satu tembang saja, Tuan Guru nampaknya membaca lebih cepat dari biasanya.
"Sudah siap semua?" Tuan Guru bertanya sambil menuangkan kopi ke cangkir seng dan menyerahkannya kepada Arsan. Jejaka kurus tegap itu menerimanya setelah mengucapkan terima kasih, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong celana cingkrangnya. "Tapi sebatang dulu bolehkah, Guru?" Ia memperlihatkan sebungkus rokok kretek lokal dan menawari gurunya. Sang Guru menolak tapi tak melarang Arsan menghisap rokok itu. Bisa-bisa dia kabur lagi kalau diceramahi soal rokok. Arsan sudah keterlaluan mencandunya. Sejak umur sepuluh tahun jejaka itu sudah akrab dengan lintingan tembakau. Mungkin udara pegunungan yang dingin membuatnya mencari kehangatan dari barang itu. Lama-lama ia menjadi kecanduan dan rokok kemudian menjelma sebagai barang yang selalu melekat dalam tubuhnya. Pakaian terkadang ditanggalkannya bilamana ia menyabit rumput atau memanen sayur, tetapi rokok selalu terselip di jari, atau di balik daun telinganya.
Arsan mengepulkan asap rokok tanpa merasa bersalah pada Tuan Guru yang sesekali terbatuk. Ia tahu, sang Guru hanya bersikap menyindirnya, bukan benar-benar gatal tenggorokan. Arsan sendiri menyaksikannya pernah tergila-gila pada rokok sebelum diangkat sebagai Guru Besar. Ah, untunglah aku tak jadi dipilih," desisnya selalu. Dia lebih memilih rokok daripada posisi guru yang ditawarkan Guru Besar terdahulu. Lagi pula, Eyang Guru cukup keterlaluan menyuruhnya beradu kekuatan dengan Adrinari Pasundan yang kini menjabat sebagai Tuan Guru. Adrinari, sang Tuan Guru, telah tersohor di seantero Dusun Jawara sebagai orang paling kuat, berilmu tinggi, dan mengerti banyak bahasa. Dia? Cukup aksara jawara saja yang dikuasainya, dan bahasa binatang. Ya, paling tidak dia menguasai bahasa binatang. Anugerah pewarisan keluarganya yang tak dimiliki Adrinari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in the Mountain
Misterio / SuspensoKisah dewasa. Sebelum menikahi Kala, Nara ingin terbebas dari belenggu masa lalunya. Ia memutuskan untuk mengunjungi lelaki yang pernah meninggalkan kenangan baginya. Lelaki itu tinggal di sebuah dusun kecil di lereng pegunungan. Nara hanya ingin...