02. not (alone)

4K 481 35
                                    

Jennie membuka pintu rumahnya yang rapuh, bunyi berderit dari benda itu terdengar ke sepenjuru rumah. Mengisi keheningan yang tertinggal disana.

Ayahnya sudah pulang selepas mengantarkan anak gadisnya, Jennie tidak merasa perlu menawari Ayahnya untuk masuk dan pria itu juga tidak menunjukan keinginan untuk singgah barang untuk sejenak saja. gadis itu lebih memilih menutup rapat mulutnya dari pada harus mengucapkan omong kosong berupa ucapan terimakasih pada Ayahnya. Jennie sudah tidak perduli lagi, dia terlanjur kecewa dengan jawaban pria itu dirumah sakit tadi.

Gadis itu melangkah masuk kerumah yang akan dia tempati kedepannya, terus melangkah sebelum berhenti tepat ditengah-tengah ruang tamu miliknya. Irisnya mengedar keseluruh sudut rumah, mengirim rasa sesak pada dadanya, seolah bagian itu ditekan begitu kuat.

Ah ... Rumahnya kelihatan sepi sekali. Dulu Jennie tak merasa begitu ketika ada nenek, rumahnya terasa lebih hidup dahulu.

Sekarang lantainya terlihat berdebu, bahkan ada beberapa sarang laba-laba di langit-langit rumah. Ditinggal beberapa minggu dirumah sakit tanpa pulang sekalipun tentu akan membuat rumahnya jadi sekotor ini.

Menghembuskan nafas; Jennie mencoba untuk lebih kuat, mengusap sudut matanya yang basah sebelum bergesas menuju kamarnya. Setidaknya dia perlu membereskan beberapa baju di tas yang dia bawa dan menatanya di lemari pakaian. Ada beberapa baju milik nenek juga, Jennie lebih memilih menyimpan itu sebagai kenang-kenangan saat dia merasa rindu nanti, kendati saat ini pun perasaan itu sudah membuncah tanpa ampun—dia rindu nenek.

Selesai dengan itu semua, Jennie bergegas menuju kamar mandi yang letaknya disudut rumah paling belakang, meraih ember dan sacarik kain kumal guna membersihkan suluruh debu ditempat dia tinggal. Berusaha terlihat sesibuk mungkin, berusaha mengalihkan pemikiran yang bisa membuat dadanya sesak bukan main.

Tapi saat semua telah dia selesaikan dalam waktu singkat, yang bisa gadis itu lakukan selanjutnya hanya berdiam diri dikamarnya yang sempit. Berbaring dengan kedua tangan yang berada diatas perutnya. Jennie sudah tidak bisa lagi mengalihkan atau menghalangi pemikiran buruk yang perlahan menyambangi kepalanya.

Tentang rasa kehilanganya juga tentang perasaan kecewanya pada pria yang dia panggil Ayah; bagaimana bisa pria itu tega membiarkan Jennie hidup sendirian, sekeras apa hatinya? Setidaknya biarkan Jennie tinggal dirumah miliknya walau harus berakhir menjadi pembantu sekalipun, Jennie tentu amat sangat rela. Tapi yang dilakukan pria itu justru menolaknya dengan alasan istri barunya, pria brengsek.

Ayahnya terlihat begitu mengutamakan keluarga barunya, harusnya yang diutamakan disini adalah Jennie, dia dan ibunya jauh lebih dulu hadir diantara pria itu. Tapi saat ibunya telah tiada presensi Jennie seolah dilupakan begitu saja. Rasa-rasanya Jennie ingin mengumpati pria itu ditengah air mata yang mengalir dikedua irisnya. mendadak Jennie tertengung; tanganya bergerak mengusap sudut matanya, Sial.. sejak kapan dia menangis-lagi.

Kedipan cahaya berulang dari benda persegi yang terletak di nakas mengambil alih fokus Jennie. ponsel jadul miliknya tidak berbunyi, Jennie sengaja mengatur ponselnya menjadi senyap untuk menenangkan diri. Gadis itu awalnya ingin mengabaikan, tapi saat melihat siapa yang menelfon membuat dia secepat kilat mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo."

"Kak Bagaimana kabarmu? Apa kau baik?"

"Tentu aku baik." Jennie tersenyum saat orang yang disebrang menyahut cepat, diiringi kalimat yang terselipkan nada khawatir untuknya.

"Skyukurlah.. Tapi besok kau sekolah kan? Berada disekolah tanpamu rasanya membosankan sekali."

"Iya, besok aku akan masuk sekolah."

"Ah berarti besok aku bisa melihatmu lagi, senangnyaa."

Jennie tidak menjawab, kendati satu senyuman masih betah singgah dibibirnya.

"Kak Jennie."

"Ya?"

"..."

yang disebrang tak kunjung membuka suara. Membuat Jennie menerka apa yang akan dikatakan lawan bicaranya. Nyaris saat Jennie akan membuka suaranya untuk memastikan apa panggilan mereka masih berlanjut; yang disebrang mendadak menyahut,

"kuharap kau memang baik-baik saja," mendadak suasana menjadi hening, kendati Jennie amat mengerti bahwa suara orang disebrang terasa menyendu, entah kenapa?

"Apapun yang terjadi, kuharap kau tetap bertahan Jen, dan jika kau butuh seseorang untuk bersandar. Kau bisa meminjam bahuku kapanpun kau mau."

Terdengar begitu yakin, membuat Jennie terdiam sebab tak menyangka dia bisa mendapat ucapan yang penuh perhatian begini.

"Ya tentu, terimakasih untuk semuanya. Kau memang teman yang baik Yeonjun." {}

See you

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

See you.

AzazelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang