Satu

9K 737 28
                                        

"Percayalah, kalian adalah separuh dari kehidupanku" –Revi

🍁🍁🍁

Rival melempar malas tas sekolahnya ke atas meja. Membuat tiga orang di sana terlonjak kaget. Perdebatannya dengan Revin tadi benar-benar membuat moodnya berantakan. Dia tahu, seharusnya dia tidak perlu menanggapi serius ucapan kakaknya itu. Toh selama ini Revin sering seperti itu. Tapi belakangan ini, perasaannya memang lebih sensitive dari cewek PMS.

Bahkan selama di perjalanan tadi, mereka hanya diam. Sesekali Revin bertanya dan hanya mendapat satu kata sebagai jawaban dari Rival. Mereka lebih banyak diam. Meredam pikirannya sendiri, dan menemukan letak kesalahannya.

Radit sering mengatakan, mereka hanya hidup bertiga. Jadi sebisa mungkin harus menghindari pertengkaran. Tapi, mau bagaimana. Bila mereka bertiga sama-sama mempunyai ego yang tinggi. Yang kapan saja siap untuk meledak. Raditpun sama. Hanya saja dia lebih bisa mengontrol amarahnya dengan berdiam diri dan menjauh dari adik-adiknya.

"Kenapa tu muka lusuh amat." Aldi menepuk pelan pundak Rival.

Rival hanya menoleh sebentar, lalu kembali melempar pandangannya ke arah depan. "Gak mood. Abis berantem sama Bang Revin." Jawabnya malas.

"Berantem kenapa lagi? Kayaknya lo berdua memang hobinya berantem ya. Untung Bang Radit gak ikut-ikutan." Ucap Reza menimpali.

"Gak ngerti gue. Bawaannya emosian mulu. Dan kalau lo salah-salah ngomong lagi sama gue, gue bisa aja diemin lo seminggu." Jawab Rival sambil menunjuk Reza tepat di depan matanya, sebelum bangkit dan meninggalkan kelas.

"Kan salah ngomong lagi gue." Kata Reza.

"Biasa, jadwalnya datang bulan jadi gitu." Balas Fandi lalu bangkit menyusul Rival.

Sebenarnya Rival bukanlah anak yang malas mengikuti upacara. Apalagi dibilang tidak mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Tidak, bukan begitu. Hanya saja dia malas mendengar kepala sekolah yang bila memberi amanat bisa hitung 10 kali mengelilingi lapangan sepak bola. Bahkan apa yang beliau jelaskan, akan diulang hingga 3 kali penyampaian. Alasannya agar semua paham. Padahal mereka semua sudah paham dari dulu. Karena setiap memberi amanat, hal yang disampaikan pasti sama.

"Kenapa Val?" Tanya Aldi saat melihat Rival sedikit membungkuk sambil memegang perutnya.

"Kram perut gue. Lagi pula tu bapak-bapak lama banget ngasi amanat." Balas Rival. Wajahnya sudah sedikit pucat disertai keringat dingin diwajahnya.

"Ijin ke belakang aja sana, gue panggilin petugas kesehatan, ya?"

Rival menggeleng, menanggapi kata-kata Aldi tadi. Seharusnya dia masih kuat hingga upacara selesai nanti. Entah mengapa perutnya belakangan ini sering bermasalah. Mungkin karena dia mempunyai maag yang memang menyiksanya sejak dulu.

Akhirnya setelah satu setengah jam berdiri di bawah terik matahari, upacara berakhir dan semua siswa dibubarkan. Rival bisa bernafas lega, karena dia tidak sampai pingsan dan menghebohkan satu sekolah. Dimana dia sembunyikan mukanya nanti. Bila seorang Rival Ragata Pratama pingsan hanya karena mendengar kepala sekolah menyampaikan amanatnya.

Kini mereka sudah menjadi penghuni kantin. Mereka rasa setelah upacara memang lebih enak diam di tempat ini dibandingkan kembali ke kelas dan mendengar penjelasan guru.

"Masih sakit?" Tanya Fandi. Rival hanya mengangguk kecil sambil masih membenamkan wajahnya di atas lipatan tangannya. Walau nyeri di perutnya kini sudah tidak separah tadi.

"Pulang gih, gue anter deh. Atau mau telpon abang lo?" Tanya Fandi lagi. Kini tangannya tergerak mengusap punggung Rival yang sudah basah karena keringat.

HOME ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang