Di sebuah pegunungan yang cukup tinggi di daerah Tibet, terdapat sebuah kuil kuno. Tak jauh dari kuil kuno tersebut terdapat dua biara yang berukuran cukup besar. Sekalipun kedua biara itu berdekatan dan terlihat mirip, situasi di dalamnya ternyata sangat bertolak belakang.
Biara 1 merupakan tempat belajar sangat sunyi, tenteram, dan teduh. Semua penghuninya hidup dengan harmonis dan damai. Tidak pernah terjadi perselisihan diantara mereka dan semua penghuni hidup bahagia.
Biara 2, sebaliknya, bagaikan menyimpan api dalam sekam, yang tertiup angin sedikit saja akan berkobar. Hampir setiap hari ada saja penghuninya yang berselisih pendapat dan rebut. Kehidupan di sana sungguh tidak harmonis.
Kepada Biara 2 merasa bingung menghadapi situasi tersebut. Dia lalu mengutus muridnya yang terpandai untuk tinggal selama beberapa hari di Biara 1. Misi sang murid adalah menyelidiki mengapa penghuni biara itu bisa hidup rukun dan harmonis.
Beberapa hari kemudian, sang murid kembali dan melaporkan, “Guru, para penghuni Biara 1 bisa hidup dengan harmonis karena mereka sering melakukan kesalahan.”
Kepala Biara 2 bingung mendengarnya. Bagaimana mungkin sering melakukan kesalahan malah membuat mereka hidup rukun?
“Ya, Guru. Mereka sering sekali melakukan kesalahan, jadi setiap orang saling mengerti,” lanjut sang murid.
Semakin dijelaskan, semakin bingunglah sang Kepala Biara. Akhirnya dia memutuskan berkunjung sendiri ke Biara 1.
Saat dia memasuki aula utama Biara 1, lantai aula itu sedang dipel. Saat itu ada orang lain yang ikut masuk bersamanya dan orang itu tergelincir karena lantai masih basah.
Melihat hal itu, orang yang sedang mengepel buru-buru berkata, “Aduh maaf, ini salah saya. Saya menggunakan terlalu banyak air untuk mengepel.”
Mendengar hal itu, orang yang tergelincir juga meminta maaf. “Ah tidak, saya yang harus meminta maaf. Saya kurang hati-hati dana tidak melihat bahwa Anda sedang mengepel. Malah saya mengotori lagi lantai yang sedang Anda pel ini.”
Kepala Biara 2 yang melihat hal itu tersenym dan akhirnya mengerti.
Andai saja semua orang mau melakukan instrospeksi diri, mengakui bahwa dirinyalah yang salah, dan menyampaikan penyesalah, tentu semua orang akan hidup harmonis tanpa perselisihan dan menjalani haro-hari yang penuh kedamaian, kebahagiaan, dan sentosa.
Banyak manusia bertengkar karena hanya melihat kesalahan yang ada pada orang lain , tapi tidak bisa melihat kesalaha pada diri sendiri. Ketika ada masalah, yang diketahuinya hanya mati-matian menyalahkan pihak lawan demi menutupi kesalahan sendiri. Pertengkaran pun jadi semakin sengit.
Akibatnya, masalah kecil berubah menjadi masalah besar dan masalah besar berubah menjadi masalah yang tak dapat diselesaikan.
Banyak manusia juga bertengkar karena mati-matian menjelaskan dari posisinya saat itu. Misalkan dari posisinya berdia dia melihat suatu angkat sebagai 6, sedangkan dari posisi kita berdiri, kita melihat angka itu sebagai 9. Dia ngotot bahwa itu adalah 6, bukan 9. Padahal, kalau saja dia mau melihat dari sudut pandang kita, dia akan mendapati bahwa kedua angka itu benar dari posisi masing-masing.
Dalam baha Indonesia ada ungkapan seperti ini, “Dalam pertengkaran, kalah jadi abu, menang jadi arang.” Artinya apa? Dalam pertengkaran tidak akan ada yang menang; kedua belah pihak pasti kalah. Jadi, untuk apa bertengkar?
Setiap manusia pada hakikatnya memiliki persamaan dan perbedaan dengan satu sama lain. Apakah kita akan membedakan persamaan yang ada? Ataukah kita justru menyamakan perbedaan yang ada?
Mari, jangan biarkan perbedaan mencerai-beraikan persatuan kita. Kita boleh berbeda, tapi tetap hidup rukun damai dalam persatuan.