Deret bangku di sini masih cukup lengang. Tak biasanya. Kulihat hanya beberapa saja pelayan mondar-mandir melayani pesanan atau mengantarkannya ke meja-meja tertentu. Dalam keremangan yang entah pagi ataukah sore ini, semua masih terlihat cukup lengang. Aku duduk di sebuah sudut yang sudah cukup kukenal dan dapat dipastikan akan selalu kosong kecuali aku yang duduk di sini.
Dia duduk di sana, tiga meja tepat dari mejaku. Di deret paling kiri sebuah restoran kecil dengan suasana remang yang selalu kurindukan. Wanita itu, sedang menguliti sendiri sebuah jeruk muda berwarna hijau pucat yang sebentar lagi akan berakhir mengambang di dalam gelas tequila miliknya. Kau akan tahu dia wanita seperti apa ketika kau menyaksikannya mengiris setiap buah jeruk tadi menjadi lembaran-lembaran tipis sebagai pemanis minuman yang cukup pahit.
Aku bertemu dengannya pertama kali saat malam yang basah. Aku memasuki kehangatan restoran itu setelah menerobos hujan yang menderas tiba-tiba. Dengan jaket yang basah kuyup di bagian luarnya, aku masuk dengan mengibaskan rembesan air yang menetes dari ujung celanaku dan sebagian lagi yang menggenangi ujung kemejaku. Aku langsung mengambil posisi favoritku, di meja yang mana tak akan terisi jika bukan aku yang mengisinya.
Saat itu mataku terhenti ketika akan menengok meja bar yang selalu menjadi rujukan pertama mataku begitu sampai dan membenarkan letak dudukku. Seorang wanita dengan gaun berwarna hitam anggun nampak sedang bercumbu dengan sebuah jeruk. Aku mengingatnya benar, terdapat empat buah jeruk yang masih belum masak sempurna—berwarna hijau pucat—di depannya. Aku memperhatikan, bagaimana dia mendekatkan satu-persatu jeruk itu ke ujung hidungnya yang tampak kemerahan dalam cahaya yang kusam. Bagaimana caranya melempar-lemparkan jeruk itu di telapak tangannya sendiri, begitu lembut dan penuh pertimbangan.
Setelah cukup lama dia memperhitungkan setiap kemungkinannya, diambilnya satu buah yang paling kecil dengan warna hijau menyeluruh. Dengan satu kode yang tak kupahami, seorang pelayan menyimpan kembali sisa jeruk yang tak jadi dipilihnya. Yang terjadi kemudian, ia mengeluarkan sebilah pisau Swiss Army dari dalam kantong kecil tas miliknya.
Saat itulah mata kami bertemu pandang.
Ya, kami akan hidup berdua saja. Hanya berdua dengannya. Tidak akan ada lagi celah untuk yang lain selain dengannya. Kami akan tinggal di rumah dekat danau yang mana hanya kami berada di sana. Saat itu pagi, aku bangun awal dan dia nampaknya sudah lebih dulu terjaga dari tidurnya. Sayup-sayup aku mendengar suara langkah di ruang tengah, dan mencium wangi hangat yang sangat menggoda. Aku memantapkan langkah mengusir kantuk yang masih menggantung dan mendekati asal bau harum itu.
Ia menatapku. Hanya sesaat, sebelum meneruskan mengupas jeruk hijau itu pelan-pelan. Di depannya telah ada dua jeruk yang telah terkupas sempurna seluruh kulitnya, menyisakan hanya dagingnya dengan selaput arinya yang berwarnya putih tipis, dan di sisi lain, tergeletak gulungan kulit jeruk hijau yang berbentuk spiral nyaris sempurna. Matanya beralih pandang dari mataku kepada jeruk yang terkupas setengah di tangannya. Sudut matanya lebih berkilau dari mata pisau yang sedang bergerak lembut menelanjangi sisa jeruk di tangannya.
"Perhatikan," katanya, "terkadang hidup tidak akan selalu bersikap baik kepada kita, aku tahu jeruk-jeruk ini belum masak. Aku melakukannya karena aku mampu."
Aku tersenyum. Melangkah menghampirinya dan melingkarkan tanganku di atas pundaknya dengan lembut. Tak lupa satu kecupan manis dariku mendarat pada ujung batas rambut di keningnya. Matanya tak beralih dan masih menatap tajam penuh dendam kepada jeruk di tangannya.
"Suatu hari hidup akan membenci kita, siapa tahu hidup akan memberikan alasan bagiku untuk membencimu dan menelanjangimu. Memisahkan setiap senti kulit dari dagingmu, seperti jeruk ini."
YOU ARE READING
Affirmez la Survie: Tentang Segala Hal yang Sebentar
Short StoryBarangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana-apapun maknanya.