Surabaya, September 2018.
"Mama, kain seragam batiknya udah ada nih." Jeno menyodorkan plastik berisi kain berwarna cokelat dengan motif batik khas seragam anak SMA.
Jeno dan keluarganya baru pindah dari Jogja, kota kelahirannya, ke Surabaya 4 bulan yang lalu. Karena pindah tugas, mereka harus ikut Papanya pindah ke kota yang terbalik 180 derajat dari Jogja. Bisa dibilang, Jogja itu damai dan asri, dibandingkan dengan kota metropolitan seperti Surabaya. Jeno menduduki kelas 11 sekarang. Jeno masih membiasakan diri, untung saja Jeno sudah berhasil berteman sama beberapa orang di kelas barunya.
"Nah, akhirnya. Mama udah nemu penjahit deket sini, kita pergi sekarang aja ya?" Mamanya berdiri menuju kamar beliau untuk ganti baju. "Oke, ma." Jeno ikut beranjak.
//
Rumah Jahit Huang.
"Permisi!" Mama Jeno terus mengetuk pintu itu. Jeno melihat-lihat lingkungan sekitarnya, sambil menenteng kantong kresek hijau berisi bahan seragamnya. Disekitarnya hanya ada barisan rumah, mengingat dia memang sedang berada di perumahan.
Tidak lama pintu itu dibuka, menampilkan ibu-ibu berdaster merah, rambutnya pendek, dan kulit putih namun keriput. "Iya? Ada yang bisa saya bantu?"
"Ah iya, Bu. Mau ngejahit, bisa kan ya?" Tanya Mama Jeno. Ibu itu membulatkan bibirnya jadi bentuk 'o'. "Oh iya! Masuk aja, Bu." Ibu itu membuka lebar pintunya.
"Duduk, Bu, Mas." Ibu yang sepertinya bernama Ibu Huang itu lalu menghilang sebentar dibalik dinding. Tak lama kemudian ada suara-suara dentingan gelas yang samar, lalu Ibu huang kembali. "Bentar ya, minumnya masih dibuatin anak saya." Ibu Huang tersenyum ramah, lalu ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Jeno.
"Aduh, harusnya gausah repot-repot, Bu." Mama Jeno melambai-lambaikan tangannya, sungkan. "Udah, gapapa." beliau tertawa.
"Jadi, mau ngejahit apa toh, Bu?" Ibu Huang melirik kantongan dipangkuan Jeno. "Ini, seragam batik anak saya." Mamanya mengambil kantongan itu lalu menyodorkannya ke si penjahit yang langsung menerimanya. "Anak saya pindahan, jadi baru dapet kainnya sekarang." lanjut Mamanya, yang disambut dengan tawa renyah dari Ibu Huang.
Ibu Huang mengeluarkan kain itu dari kantongannya. "Lho-"
"Lho?"
Itu bukan suara Ibu Huang. Jeno lalu menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki seumurannya, membawa nampan berisi dua gelas minuman sirup. Sangat familiar. Bahkan terlalu familiar.
"Dek Renjun?"
"Mas Jeno."
"Lho, kalian kenal?" tanya Mama Jeno. Jeno mengangguk namun pandangannya masih kaget melihat Renjun, adek kelasnya. Sekaligus musuhnya.
Sebenarnya bukan musuh. Setidaknya Jeno tidak menganggapnya musuh, Renjun saja yang tidak tahu kenapa terlihat begitu segan tiap kali bertemu Jeno. Jeno merasa tidak pernah berbuat salah ke adek kelasnya itu.
"Kakak kelas." jawab Renjun singkat, lalu dia merendah ke lantai untuk meletakkan gelas berisi sirup itu. Seperti biasa, Renjun memasang wajah judes yang khusus dipersembahkan untuk Jeno. "Oalah, pantesan kok kainnya sama kayak seragam anak saya." Ibu Huang tertawa.
"Gampang ini mah, Bu. Saya udah biasa jahit seragam temen-temen sekolah Renjun." kata Ibu Huang. Renjun baru saja memutar badan ingin kembali ke kamarnya, tapi Bundanya menarik tangannya. Dia menoleh bingung. "Tunggu dulu, ih. Kamu disini dulu bantuin Bunda." Renjun ingin protes, tapi dia berusaha sopan didepan tamu. Bundanya menariknya duduk disamping.
Setelah berbincang cukup lama, sepertinya kedua ibu-ibu itu merasa klop. Jeno dan Renjun hanya duduk bersebrangan tanpa sepatah kata pun. Tiba-tiba Ibu Huang menepuk bahu anaknya yang sedari tadi hanya bermain dengan jari-jarinya.
"Njun, kamu ukur dulu gih, si Masnya." Renjun melotot. "Lho, kok aku seh?" Renjun berusaha bisik-bisik, walau tetap saja kedengeran Jeno. "Kamu ya, disuruh gitu doang gamau. Bunda masih enak ngobrol!" Renjun tau tidak ada gunanya juga membantah Bundanya, jadi dia menghela napas kasar lalu berdiri. Jeno hanya plonga-plongo.
"Ayo!" Renjun memandangnya kesal.
//
"Jadi kamu punya jasa jahit ya, Dek."
"Bundaku. Bukan aku." jawabnya ketus, sambil mengukur panjang lengan Jeno lalu mencatatnya di buku.
Jeno sedikit kaget dengan sikap Renjun, walau memang sudah biasa seperti itu saat mereka latihan basket sepulang sekolah. Iya, mereka berdua satu ekskul, tapi Renjun tentunya masih kelas 10.
Renjun kemudian pindah ke samping untuk mengukur lebar bahu Jeno. Walau kepalanya menghadap depan, mata Jeno sebisa mungkin berusaha melirik kearah Renjun. Tubuh mereka berdua sangat dekat, Jeno bisa memperhatikan ekspresi wajah Renjun yang terus saja cemberut tidak ikhlas melakukan tugasnya. Hidungnya yang mancung, bulu matanya yang lumayan panjang. Oh, dan jangan lupakan bibirnya yang mungil namun terlihat berisi.
Wait, what?
Renjun beralih mengukur lingkar badannya, melilitkan meteran berwarna biru itu di sekitar perut Jeno.
"Napasnya jangan ditahan, entar salah ukur."
Jeno bukan takut disangka buncit, dia cuma baru sadar kalau cowok di depannya manis juga, napasnya sampai sesek.
Jeno melepaskan napasnya, menahan malu karena ketahuan menahan napasnya. Renjun melanjutkan segala prosedur ukur-mengukurnya. "Udah?" Jeno bertanya. Renjun hanya mengangguk lalu berjalan ke arah Bundanya, "Bun, udah." lalu dia langsung pergi tanpa mendengar respon Bundanya terlebih dahulu.
"Makasih ya sayang!" Teriak Bundanya.
Jeno semakin penasaran dengan Huang Renjun.
//
hai, sedikit info saja, ide dari fic ini itu jateng x jatim. uhm bisa dibilang jawa alus x jawa kasar?? hehe. tapi aku ga bermaksud ngomong kalo semua org jatim itu kasar dan semua org jateng itu alus :(( ini berdasarkan stereotypes di masyarakat aja hehe. OH! dan aku masih pake bahasa indonesia ya, paling cuma nyelipin logat dikit, biar ga repot translate.
anyways, aku bakal ngasih tau alasan renjun gedeg ama jeno nanti. sooooo, ditunggu y.
and let me know kalo kalian mau aku lanjut chapter 2 di komentar yes.
KAMU SEDANG MEMBACA
noren - tukang jahit
Random"napasnya jangan ditahan, entar salah ukur." jeno bukan takut disangka buncit, dia hanya baru sadar kalau cowok di depannya manis juga, napasnya sampai sesek. seminon-baku | jateng x jatim ©injoonie 2019