"Mama, aku abis ditemenin Renjun jemput Bongsik." Jeno mencopot sepatunya kemudian kaos kakinya.
"Ih Jeno, kamu nih. Anak orang dibawa keluyuran." Mama Jeno menepuk pelan pipi anaknya. "Ayo, Nak Renjun, masuk dulu!"
Renjun tersenyum sungkan, "Gausah, te. Aku langsung pulang aja."
"Udah, masuk dulu, masih panas gini, nunggu sore aja biar ga terik-terik amat. Kamu juga pasti haus kan ya?" Jeno mengangguk semangat, menyetujui kata Mamanya.
Renjun ingin berteriak. Barusan dia menghabiskan waktu bersama Jeno, sekarang harus sama keluarganya juga?
Renjun mengangguk pasrah lalu ikut mencopot sepatunya. Dia masuk mengekori Jeno. "AC di kamar nyalain aja, Jen!" teriak Mamanya dari dapur. Renjun melotot. Tidak ada yang memberitahunya kalau ini akan berlangsung di kamar Jeno?? Renjun pikir dia hanya akan duduk manis di sofa ruang tamu, menyeruput segelas sirup dingin, lalu menunggu datangnya sore hari.
Tapi, tidak. Duo ibu dan anak ini memang sangat ngegas.
Jadi Renjun menyeret kakinya malas sambil merutuki nasibnya dalam hati. Itu dia, pintu putih dengan gagang cokelat tua. Kamar Lee Jeno. Jeno membukakan pintunya, "Ayo." Renjun agak ragu untuk menggerakkan kakinya, dia hanya menatap Jeno sambil mencengkram tas selempangnya. "Ayo!" Jeno sekali lagi menarik pergelangan tangannya.
Renjun masuk ke dalam, lalu Jeno mengambil remote AC dan menyalakannya. Tak lama udara sejuk itu memenuhi ruangan. "Nah, gini kan enak." Renjun masih berdiri memandangi kamar Jeno. "Duduk aja di kasur." Jeno melepaskan tas dan jaket Renjun kemudian menggantungnya di belakang pintu. "Makasih." Renjun kemudian duduk di kasur. Jeno duduk di kursi meja belajarnya, bersebrangan dengan Renjun.
Hening.
Renjun terlihat sangat tidak nyaman, bermain dengan sela-sela jarinya, sedangkan Jeno hanya memikirkan satu hal.
"So? Kamu belom jawab aku, Dek." Jeno memulai.
"Jawab apa?" Renjun pura-pura tidak tahu.
Jeno tertawa kecil. "Ya, kenapa? Mas gak ngerasa pernah buat salah, tapi kamu keknya benci banget ama Mas."
Renjun sedang berperang dengan batinnya. Di satu sisi dia sadar kalau seorang Lee Jeno bukanlah orang jahat, tapi egonya mengatakan semuanya salah cowok berambut hitam itu.
Renjun menghela napas, "Aku kasih tau, tapi jangan ketawa ya?" tatapan Renjun penuh keraguan.
"Iyalah, ga bakal kok."
"Gimana ya..." Renjun memulai, "Aku kesel aja? Mas tahu coach Jeffrey?" Jeno mengangguk. "Dia selalu banding-bandingin aku sama Mas."
Dan benar, Renjun sudah sering mendengar kalimat seperti,
"Hey, Renjun! Kamu cungkring banget sih! Liat si Jeno! Badannya bugar, atletik! Kamu? Kayak sapu lidi tau gak!"
"Coba gedein dikit ototmu itu, biar ga rapuh amat kalo kesenggol dikit."
Mungkin niatnya memotivasi, tapi hati Renjun tidak sekuat baja, tentu saja akan terasa nyelekit. Dan semenjak itu Renjun merasa standar 'atletik' di mata coach Jeffrey itu jadi naik karena keberadaan seorang Lee Jeno. Renjun akui tubuhnya bukan yang terbaik, dia tidak begitu tinggi, juga tipis layaknya selembar kertas. Bahkan bukan hanya Renjun, beberapa anak yang tidak seperti Lee Jeno pun ikut menjadi korban mulut gergaji coach mereka itu.
Mendengar itu, Jeno merasa bersalah. Jeno beranjak dari kursinya lalu duduk disamping Renjun.
"Hey," Jeno menepuk bahunya. "Cowok itu, ga wajib punya badan keker atau tinggi menjulang kok." Renjun menoleh ke arah Jeno.
"Dalam basket, tinggi bukan segalanya. Yang paling penting kan skills kamu?"
Renjun menunduk, "Tapi, toh aku bukan yang terbaik juga kan?" Jeno benci itu, melihat Renjun murung.
"Kok pesimis gitu sih, Dek? Mungkin kamu emang belom jadi yang terbaik, tapi masih ada ruang berkembang."
Jeno menatapnya dengan sangat hangat, jari-jemari Jeno beralih merapihkan poni Renjun, lalu menyelipkannya di belakang telinga Renjun.
Renjun berteriak dalam hati. Apa ini? Woy dia ngapain?? kira-kira seperti itu isi pikiran Renjun.
Renjun mendongak untuk mendapati Jeno tersenyum lembut ke arahnya. Merasakan kedua pipinya menjadi hangat, Renjun segera menutupinya dengan punggung tangannya.
Jeno tertawa, "Ih, kamu lucu deh." lalu mengusak rambut Renjun gemas.
"Apa sih." gerutu Renjun.
Suara ketukan pintu terdengar, lalu Mama Jeno datang dengan sebuah nampan berisi dua gelas putih.
"Tante bawa es buah!!"
//
"Njun? Kok baru pulang?" tanya Bundanya yang sedang menggunting beberapa kain.
"Uhm, aku abis maen, Bun." Renjun mengecup pipi Bundanya.
"Yaudah, sana cepet mandi."
Renjun berlari naik tangga menuju kamarnya. Dia mendobrak pintunya, lalu cepat-cepat menutupnya. Renjun menjatuhkan tubuhnya ke kasurnya, menatap langit-langit.
Motor Jeno berhenti di depan pagar rumah Renjun. Renjun turun dari motor, mengembalikan helm milik Jeno.
"Makasih." baru saja Renjun akan membalik badannya, Jeno menahan tangannya. Renjun terpaksa kembali berhadapan dengan Jeno.
"Dek, inget ya kata-kataku." Jeno masih belum melepaskan genggamannya. Apa yang tidak Renjun sangka adalah, tangan itu berpindah ke pipi kanan Renjun, mengusapnya pelan.
"Semangat, Dek."
Teriakan Renjun teredamkan oleh bantalnya.
//
hAHAHAHAHA APA INI KLISE SEKALI SJSNSJSHSK
maap ni aku suka keju kejuan macem gini:((
also, ngeh ga kalo aku sendiri gatau ini ceritanya lari kemana?:" dasar aku.ohiya, paham ada yang beda dari maz jeno di chapter ini?
YES. kalo sebelumnya maz jeno cuma narik pergelangan tangan renjun, kali ini langsung narik tangan heheheh:-)NINUNINU MAZ JENO NGEGAS
AAAA POKONYA AKU CINTA SOFT NOREN!
ABIS GINI AKU FOKUS KE AU TUKANG JAHITNYA YA! MOHON DITUNGGU!anyways, tolong komen untuk lanjut chap 4!! lopyu mwa mwa
KAMU SEDANG MEMBACA
noren - tukang jahit
Random"napasnya jangan ditahan, entar salah ukur." jeno bukan takut disangka buncit, dia hanya baru sadar kalau cowok di depannya manis juga, napasnya sampai sesek. seminon-baku | jateng x jatim ©injoonie 2019