Prolog

112 95 236
                                    

Gadis itu tak henti-hentinya melayangkan cambukan pada pria tua yang saat ini tengah menjerit kesakitan. Tak peduli seberapa pun kerasnya jeritan pria tersebut, gadis itu semakin mempercepat cambukannya. Membuat darah dari pria tersebut mengalir, dan bahkan berserakan dimana-mana.

Bau anyir darah pun menyeruak keluar dari dalam ruang bawah tanah, tempat dimana gadis itu membantai setiap orang yang berani berurusan dengannya.

Lebih buruk dari sel penjara, ruangan tersebut sangat minim akan pencahayaan. Pintu ruangan tersebut berupa jeruji besi, yang memiliki tiga lapisan jeruji. Terdapat aliran listrik di setiap jerujinya, seakan memperlihatkan kesan mengerikan bagi siapa pun yang baru memasukinya.

"Dasar idiot! Pikirmu kau bisa melarikan diri hanya dengan berpindah kota seperti itu, huh?" Bentak gadis itu, sembari meludah tepat pada muka pria tua tersebut.

Gadis itu menyeriangai lebar, sesaat sebelum ia merubah raut wajahnya menjadi ekspresi sedih yang dibuat-buat. "Lihat dirimu saat ini, menyedihkan sekali! Di usiamu yang semakin tua ini, seharusnya kau hanya duduk manis menikmati sisa hidupmu yang tak lama lagi."

"Namun nyatanya kau lebih bodoh dari yang kukira, Mr. Desantos. Jika saja waktu itu kau mengatakan yang sebenarnya kepadaku, mungkin aku tidak akan sampai menyingkirkan istri dan juga anakmu." Gadis itu tersenyum bengis.

"Oh, sudah cukup basa-basinya. Aku sudah sangat muak dengan semua ini! Mari kita selesaikan permainannya." Gadis itu mengambil beberapa jenis pisau lipat dari saku jaket kulitnya. Memulai dari pisau yang terkecil, ia menggores kemudian sesekali menancapkan pisau tersebut di salah satu punggung kaki Desantos. Mengukir sebuah gambar, yang hampir menyerupai gambar tengkorak.

Gadis itu tersenyum miring melihat Desantos yang meringis kesakitan. "Kau tahu? Menyiksa binatang sepertimu ini, memberikan kesenangan tersindiri buatku." Gadis itu melakukan hal yang sama pada punggung kaki Desantos yang lainnya, namun pisau yang ia gunakan telah berganti menjadi yang lebih besar.

"Akkhhh!!!! Kau menyakiti kedua kakiku!! Ttto..long...hen..ti..kann."

"Kau memintaku untuk menghentikan semua ini? Bodoh!!! Aku tidak akan berhenti menyiksamu. Dasar binatang tua keparat!" Gadis itu beralih pada solder yang sudah berada dititik terpanas, kemudian langsung menancapkannya tepat pada lutut sebelah kiri Desantos, yang membuat si empunya berteriak hebat.

"Aaakkhhhhh!!! Paa..nn..asss..!!"

Menarik kemudian menancapkannya kembali, berkali-kali gadis itu melakukan hal yang sama pada lutut Desantos. Kulit serta daging lutut itu melepuh, meninggalkan tulang yang masih berlumuran darah.

"Deng..ar.. Jika kau membunuhku, maka kau tidak akan mendapatkan sebuah kebenaran yang kuketahui. Jadi tolong sshh...ampuni aku. Sssshhh..sa..kit..seka..lii..."

"Omong kosong!! Aku tidak akan pernah mempercayai kata-kata yang keluar dari mulut biadabmu lagi!! Jadi diam dan berhentilah bicara, atau aku akan mencabik-cabik mulut sialanmu itu." Tukas gadis itu penuh penekanan.

Gadis itu berjalan menghampiri kedua anak buahnya yang tengah berdiri tegap disalah satu sudut ruangan tersebut. "Bersihkan semua benda ini seperti biasa, dan asah belati yang kau bawa itu setajam mungkin. Cepat!" Titah gadis itu sembari menyerahkan cambuk, beserta ketiga pisau lipat yang telah berlumuran darah kepada salah satu anak buahnya.

Beralih pada pria tua yang sudah terkapar tak berdaya, gadis itu menarik paksa dagu pria tersebut. "Kau tahu sedang berurusan dengan siapa, kan? Sangat mudah bagiku untuk menyingkirkan binatang kotor sepertimu dengan kedua tanganku ini. Bahkan jika perlu, aku tidak akan segan-segan untuk mempersulit kematianmu." Kembali gadis itu mengatur napasnya yang terdengar sedikit tak beraturan.

"Berapa ratus miliyar uang yang harus Zielberth bayar atas keberhasilanmu membunuh kakek dan nenekku, hum?" Perlahan, cairan bening berhasil keluar dari kedua bola mata sipit gadis itu yang langsung ia tepis dengan telapak tangannya.

"Kau tahu seberapa pentingnya kakek dan nenekku setelah kedua orang tuaku tewas, huh?" Bibir gadis itu mengatup rapat, rahangnya mengeras, gigi-giginya pun bergemelatuk, menahan amarah.

Sedangkan Desantos? Dia tersenyum penuh arti. "Kau masih saja mengira bahwa tuanku Zielberth memerintahkan diriku untuk membunuh kakek dan nenekmu, nona?" Tanya Desantos disela batuknya.

"Apa yang sedang kau bicarakan, huh? Bicara yang jelas!" Dengan penuh amarah, gadis itu melayangkan sebuah bogeman mentah pada pipi Desantos.

Bugh!

"Aku sudah pernah membicarakan ini denganmu, dan kenyataannya memang seperti itu. Bukan aku yang membunuh kakek dan nenekmu! Bahkan tuanku Zielberth saja, tidak pernah bertemu secara langsung dengan kakek dan nenekmu. Lantas, keuntungan macam apa yang akan kami dapat dari menyingkirkan kakek dan nenekmu?" Tutur Desantos panjang lebar.

Bugh!

"Omong kosong! Kau mencoba untuk membodohiku lagi, huh?"

Bugh!

"Mengapa kau tidak mempercayai perkataan tuan muda Xavier saja, nona? Kenyataan bahwa musuh terbesarmu saat ini sedang bersembunyi di belakangmu itu, memang benar adanya."

Sebelum melanjutkan kalimatnya, Desantos mengambil napas dalam-dalam. "Ingat ini baik-baik. Musuh yang saat ini sedang bersembunyi di belakangmu, bisa dengan mudah menikammu dari belakang, nona. Tak peduli akan ikatan keluarga yang telah terjalin cukup lama, karna jika sudah waktunya, dia akan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya." Tutur Desantos penuh keyakinan.

"Tutup mulut sialanmu itu, bedebah!" Napas gadis itu memburu, bahunya naik turun, berusaha menetralkan suasana hatinya kembali namun nihil.

"Berikan belatinya padaku!" Pinta gadis itu pada seorang anak buahnya, yang telah mengasah ketajaman belati tersebut.

Jlebb!

Belati tersebut berhasil menembus jantung Desantos, sesaat setelah gadis itu menancapkan belati itu tepat pada sasaran.

Darah mengalir deras hingga sampai pada ujung sepatu boots yang gadis itu kenakan. "Pemandangan yang sangat mengagumkan. Hahahaha."

Srekk!

Jlebb!

Srekk!

Jlebb!

Gadis itu menarik kemudian menancapkan belati itu kembali, di hampir sekujur badan pria tua tersebut. Terus dan terus melakukan hal yang sama sampai pria tua itu mengembuskan napas terakhirnya. Gadis itu mengatur napasnya yang memburu, kemudian membuang belati itu ke sembarang arah.

"Congkel kedua matanya, juga ambil hati dan jantungnya. Mutilasi tubuhnya, kemudian bakar! Dan jangan sampai ada bagian tubuhnya yang tersisa. Kalian bisa jual organ dalamnya, dan nikmati uang hasil penjualan itu. Mengerti?" Bisik gadis itu pada kedua anak buahnya.

"Baik bos!"

Sebelum gadis itu benar-benar meninggalkan ruangan bawah tanah, ia berbalik kepada anak buahnya. "Beri tahu semuanya, jangan ada yang berani menggangguku selama satu minggu kedepan." Tutur gadis itu, kemudian berlalu meninggalkan ruangan tersebut.

-----ll-----

07/05/19
NifaAeyoung

BEAUTY PSYCHOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang