Tiga

596 84 54
                                    

Handaru menatap datar pada keadaan mejanya yang sudah ramai akan coklat dan surat dengan warna-warna yang cerah. Padahal ini baru hari keduanya di sini, tetapi kenapa sudah banyak yang mengenalnya?

Pemuda itu menatap pada Jovan yang tengah bermain handphone dengan santai, seakan meminta penjelasan. Namun, pemuda berkulit agak gelap itu tampak tak acuh dengan pandangan Daru padanya.

"Jovan, ini maksudnya apa?" Daru mengambil salah satu coklat dengan pita berwarna merah jambu, jangan lupakan sebuah kertas yang tertempel pada bungkus coklat.

Halo Daru, kayaknya mulai hari ini aku jadi penggemar kamu deh, hihi. -unknow.

Daru mengernyitkan dahinya lalu meremat sobekan kertas itu. Ia berjalan menuju depan kelas, menghampiri sebuah tong sampah, lalu membuangnya.

Penasaran, Jovan pun mengambil sebuah surat beramplop biru langit dengan hiasan bentuk hati di tengahnya. Pemuda itu pun membacanya.

'Sinar mentari tak secerah wajahmu.'

Jovan memasang ekspresi geli, namun tetap ia lanjutkan.

'Birunya langit, tak seindah senyumanmu.'

"Apaan receh banget."

'Jikalau–'

"Ngapain liat-liat?"

Pemuda itu tersentak lalu menoleh, yang langsung mendapatkan tatapan datar dari Daru.

"Cringe banget gue bacanya." Komentar Jovan setelah Daru duduk di bangku sebelahnya. Pemuda Jepang itu mulai memisahkan antara tumpukan surat dan coklat. Ia membuka resleting tasnya, kemudian menaruh sepuluh buah coklat batang itu ke dalam tasnya. Mengabaikan tumpukan surat yang ia taruh secara asal di laci meja, tanpa berniat untuk membacanya.

"Gak lo baca?" Tanya Jovan yang sedari tadi memperhatikan pergerakan Handaru. Dibalas gelengan pemuda itu.

"Hati-hati nanti penggemar lo sakit hati, terus lo dikucilkan, terus dibully, terus– DUH NGAPAIN DI LEMPAR KE GUE SIH?" Teriak Jovan. Ucapannya terhenti karena beberapa lemparan kertas–surat–yang sudah diremas membentuk bola-bola kecil oleh Daru kepadanya.

"Bacot." Ucap Daru tanpa berhenti melempar gumpalan kertas tersebut pada Jovan. Kesal, Jovan pun mengambil beberapa gumpalan kertas yang berada di dekatnya dan melemparkannya balik pada Daru.

"Makan tuh kertas."

•••

"Baru pulang, Ru?"

Handaru yang baru saja membuka pintu langsung mengalihkan pandangannya ke arah seorang wanita paruh baya yang tengah duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu.

"Iya, Ma." Jawab Daru sambil berjalan gontai ke arah sang Mama, lalu ikut duduk di sebelahnya.

"Gimana tadi sekolahnya?" Tanya Mayu.

"Berasa artis tadi." Jawab Daru. Membuat Mayu terkekeh dan bingung jadinya.

"Artis gimana?" Tanya Mayu penasaran.

"Ya gitu, tiap Daru lewat dipanggil terus. Padahal mah Daru gak kenal mereka, mereka kenal Daru darimana coba?" Ujar pemuda itu. Sebenarnya ia kesal, tadinya ia pikir dengan pindah ke Indonesia kehidupannya akan berjalan dengan damai. Tidak seperti kehidupannya di Jepang dulu. Tapi ternyata sama saja.

"Bagus dong. Berarti banyak yang suka sama kamu. Gimana sih, masa kamu gak senang disukain banyak orang?"

"Bukan gitu Mama, Daru cuma risih."

Handaru menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke sandaran sofa. Tapi saat dirinya ingin mengambil makanan yang ada di meja, sang Mama langsung memukul tangannya.

"Cuci tangan dulu. Kamu baru dari luar Ruto."

Daru memalingkan wajahnya, tak ingin menatap sang Mama ketika mendengar panggilan barusan. "Iya-iya, nanti aja Daru makannya. Malas cuci tangan." Balas pemuda itu dengan penekanan pada nama panggilannya. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke lantai dua, menuju kamarnya.

•••

"KAK CIOO BUKA PINTUNYA DONG! BALIKIN NOVELNYA CACA."

Gadis itu menghentakkan kakinya kesal karena sang kakak tidak mau membuka pintu kamarnya. Ia sudah menggedor pintu berwarna putih itu dari lima menit yang lalu, namun tak membuahkan hasil.

"KAK CIOO–"

Kriett

"Iya ini dibalikin. Berisik banget." Sahut seorang pemuda dibalik pintu berwarna putih itu. Tangannya terulur, menunjukkan sebuah buku bersampul coklat tua. Melihat itu, sang gadis tersenyum senang. Ia pun mengambil buku itu, namun ternyata sang kakak tak akan pernah lelah untuk menjahili sang adik.

Bukunya ia tahan sehingga gadis itu tak bisa mengambilnya.

"Ih Kak Cio siniin bukunya Caca." Ujar gadis itu dengan pandangan kesal. Ia menarik buku yang berada di genggaman sang kakak dengan kedua tangannya.

"Gak mau. Bilang 'Kak Cio ganteng' dulu, baru kakak balikin." Tawar Julio sambil menaik-turunkan alisnya.

Caca melepaskan genggaman tangannya pada buku kemudian merengut tak suka, tapi tetap harus ia lakukan.

"Kak Cio yang ganteng, balikin dong bukunya Caca, ya?" Pinta gadis itu sambil tersenyum paksa.

Melihat itu, Julio terbahak puas. Ia memberikan buku itu kepada Caca yang masih merengut kesal.

"Dari tadi coba. Apa susahnya balikin doang." Ujar Caca sebelum berlalu dari depan kamar Julio yang masih terkekeh kecil.

•••





Yabuki Nako as Neysha Lavandula

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yabuki Nako as Neysha Lavandula.

Yabuki Nako as Neysha Lavandula

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Takata Mashiho as Samuel Julio.

Bucin SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang