SATU

6.9K 444 18
                                    


ADA puluhan rangkaian kalimat yang menari-nari di kepalaku, bagaimanapun ini adalah pertemuan pertama kami setelah setahun lebih aku menghabiskan waktu di kota lain, dan sudah seharusnya aku bisa mengucapkan satu kalimat pembuka yang menarik—syukur-syukur bisa menyampaikan segenap rindu yang menumpuk di dadaku selama ini.

Hanya beberapa langkah lagi, aku bisa melihat dengan sangat jelas wajah si pemilik punggung yang sedari memasuki coffeeshop ini tak hentinya kupandangi. Ya, tak perlu memastikan dua kali untuk tahu bahwa punggung itu ada miliknya. Milik laki-laki yang tak hentinya kubayangkan setiap bangun pagi, sebagai sugesti bahwa hariku akan berlalu dengan indah—dan yang pasti, akan selalu mengingatkanku untuk semangat menyelesaikan study-ku, karena ada dia yang menungguku.

"Er?" panggilku, lantas membuat Erio bangkit dari duduknya dan memutar kepalanya ke arahku. Dia tersenyum—manis sekali.

"V?" Tanpa menunggu lebih lama, dia menarik tanganku. Tak hanya itu, dia juga mendekatkan wajahnya, yang sedetik kemudian membuat pipiku merasakan satu kecupan lembut dan hangat. "Aku pikir kamu nggak akan datang."

Astaga, Er, kamu tahu, itu satu pikiran bodoh. Sudah pasti aku akan datang. Apa kamu juga pernah memikirkan aku nyaris gila menahan rindu ini selama ini? Bagaimana mungkin aku masih bisa menahannya lebih lama lagi?

"Gimana mungkin kamu bisa mikir gitu?" tanyaku. Menolak untuk mengikuti keinginan hatiku untuk menyampaikan sejujurnya apa yang sebenarnya kurasakan.

Erio menarik napas dalam, dia juga berusaha menatap lurus ke mataku saat berkata, "Gimana pun, aku membatalkan janji untuk jemput kamu kemarin."

"Ck, nggak usah melebih-lebihkan gitu, deh. Lagian kan, kemarin kamu sibuk, masa iya aku maksa?" Kuberi Erio senyuman superhangat, untuk meyakinkannya bahwa dia tak perlu mencemaskan sesuatu yang sudah berlalu. "Lagian juga, kemarin aku dijemput Restu kok."

Erio mengangguk. Tapi, entah kenapa, aku masih bisa merasakan perasaan tak enak itu bertengger di dirinya. Ah, Erio, sikapmu yang ini yang membuatku jatuh cinta padamu. Suatu perasaan yang dengan tak tahu dirinya mengusir seluruh kasih sayang dalam wujud sahabat yang selama sekian tahun kupunya.

"Er, kamu bilang kamu punya kejutan buat aku." Lagi-lagi aku mencoba menolak menyampaikan perasaanku, dan untungnya, aku teringat akan kata-kata Erio di telepon pagi tadi—yang menjadi sebab pertemuan kami ini.

"Hmmm...." Erio masih jua tampak ragu. "Kamu nggak mau pesan minum dulu aja?"

Benar juga, ya. Aku pun mengikuti saran dari Erio. Karena ini adalah kunjungan pertamaku, aku meminta rekomendasi dari laki-laki itu. Erio juga cerita kalau coffeeshop ini baru buka beberapa bulan yang lalu.

"So, talk to me about the surprise."

Erio memperbaiki posisi duduknya. Dia juga terlihat seperti tengah meyakinkan diri. Ah, Er, aku yakin kejutan ini akan benar-benar mengejutkanku. Sekalipun tidak, aku akan berbohong agar kamu tak kecewa.

"A-aku... mau nikah, V."

Ternyata aku tak perlu berbohong. Kejutan ini benar-benar mengejutkan. Dia berhasil. Saking berhasilnya, aku jadi tergagap saat bertanya, "Ka-kamu serius, Er?" Laki-laki itu menjawab dengan kepala dianggukkan pelan.

"Duarius, V," katanya, ditambah dengan sudut bibirnya yang diusahakan untuk tersenyum.

Berbeda dengannya, aku justru merasa bisa tersenyum dengan begitu ikhlas. Aku tahu selama ini Erio berbeda dengan laki-laki lain yang pernah kukenal. Dia bukan tipikal yang romantis, bahkan cenderung pasif. Tapi terkadang, ada sesuatu yang dia lakukan—yang tak bisa dilakukan laki-laki kebanyakan, yang lantas membuatnya memiliki nilai plus dibandingkan mereka semua.

STUCK LIKE GLUE (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang