DUA

4.8K 451 61
                                    


'Hey, Er. Apa kabar? Umm, aku terlalu basa-basi, ya. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Langsung. Dan aku tau itu nggak masuk di akal. Kita berbeda pulau, bahkan waktu. Tapi, mungkin kamu bisa mempertimbangkannya.

Your best friend,

Vilia.'



***


MALAM ini, aku memutuskan untuk duduk di taman tak jauh dari kos. Juls—yang tadinya berjanji akan menghabiskan waktu bersamaku dengan membaca novel, membatalkan janji pada detik terakhir. Bara—pacarnya, datang menengok. Sebenarnya, mereka mengajakku serta untuk jalan-jalan, tapi tentu saja aku menolak, gimana pun Juls dan Bara butuh quality time hanya berdua saja.

Dan jadilah aku di sini sekarang, seorang diri. Mmm, maksudku, nggak benar-benar sendiri. Karena ada Violet Lee dan Kaspar Varn yang menemani. Tepat ketika aku sampai di bab 39, di kalimat Kaspar yang ini, 'Aku tidak bisa menjanjikan semua akan baik-baik saja karena aku tahu kenyataannya tidak akan seperti itu.'—seseorang menggangguku.

"Boleh duduk?"

Haruskah bertanya? dumelku, kesal.

"Hai, V."

Mataku melotot dengan suksesnya. Apa aku sedang berimajinasi? Sembunyi-sembunyi, kucubit sisi pahaku yang tertutup jeans. Sakit. Tapi, laki-laki yang berdiri di depanku, yang berwujud seperti Erio, sahabatku, laki-laki yang kucintai, tak jua menghilang. Tanpa malu-malu, kukucek kedua mataku, dan hasilnya sama.

"Jadi, aku nggak boleh duduk?"

"Umm... duduk, Er," jawabku. Kentara sekali canggungnya.

Aku tak menyangka Erio memenuhi janjinya, seperti yang dia katakan di e-mail balasan tempo hari. Atau paling tidak, tidak akan secepat ini laki-laki ini menemuiku. Gimana pun, dia bukan laki-laki single seperti dulu, yang dengan mudahnya melompat ke tempat lain. Sekarang, dia pastilah butuh memberi tahu istrinya.

"Aku nggak tau kamu bilang apa sama istrimu—untuk ini," kataku pelan.

"Aku bilang yang sejujurnya," balasnya. "Menemui sahabatku."

Ah, entah kenapa, aku merasa bangga sekaligus sedih di waktu yang sama. Bangga, karena sahabatku telah menjadi suami yang baik. Juga sedih, karena ternyata aku bukanlah seseorang yang perlu dia sembunyikan dari pasangannya. Astaga, mikir apa aku ini?

"Aku minta maaf, Er."

Erio menoleh, memintaku memperjelas.

"Untuk permintaanku ini. Aku pasti sudah merepotkanmu. Mungkin juga melibatkan istrimu dan kantormu."

"Permintaanmu membuatku punya alasan untuk mengambil cuti tahunan," nada suaranya terdengar bahagia.

"Aku juga—" kutarik mataku yang sedari tadi menatap langit gelap malam ini, tanpa bulan dan bintang, ke wajah Erio yang masih setampan dulu. Dengan bulu mata tebal, bola mata tajam, rahang kokoh yang selalu bersih dari berewok. "—minta maaf karena waktu itu nggak bisa hadir di pernikahanmu."

Aku memutuskan untuk tak hadir di pernikahannya karena aku tahu aku tak bisa. Jadilah aku meminta tolong Bunda untuk menyampaikan pada Erio bahwa aku sedang tak enak badan. Bunda terlihat kecewa, tapi tak bisa memaksa.

Erio mengangguk. Merasa diamati, dia menurunkan matanya, yang lantas membuat mata kami saling menatap. "Aku maafin." Laki-laki itu lalu tersenyum.

Aku terdiam. Bingung sendiri.

STUCK LIKE GLUE (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang