"Ngapain lo ke kamar gue? Johan kan ada di bawah," aku mendelik saat melihat Sandy yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping tempat tidurku. Wajah Sandy tampak terlihat aneh, wajahnya tersenyum tiada hentinya. Aku yang tampak bingung lekas mendudukan diri sambil bersandar di kepala ranjang.
"Jela-nya Sandy."
Aku mengerjap saat dirinya menyebutkan kalimat pendek namun mampu mengguncang diriku sedemikian dahsyatnya. Sandy melangkahkan kaki semakin mendekati ranjang, tanpa dipersilahkan cowok itu duduk di atas ranjangku. Tangannya terulur, mengusap puncak kepalaku dengan pelan dan seringan kapas. Buaiannya yang seperti ini membuat darahku berdesir. Tubuhku memanas, rasanya seperti terdapat percikan api di setiap aliran darahku.
Sandy merendahkan wajahnya hingga wajah kami sedemikian dekatnya. Nafas kami mulai sama-sama memburu saat tangannya sudah mulai mengusap pinggangku yang memang ramping. Tangan Sandy menyusup ke balik kaos, merambat ke atas. Bersamaan dengan tangannya yang menyusup ke balik bra milikku, Sandy mencium bibirku dengan rakus juga bernafsu. Sangat jauh berbeda dengan ciuman kami saat berada di halaman samping sekolah, ciuman ini terasa terburu-buru, menggebu-gebu serta liar.
Bisa aku rasakan saat Sandy menyesap bibirku dengan tidak sabaran. Aku mendesah, saat itulah Sandy memasukan lidahnya ke dalam mulutku. Lidahnya bergerak dengan sangat liar di dalam sana. Bukan hanya itu, lidahnya juga terasa memenuhi mulutku. Sandy tidak melewatkan apa pun, dia menjelajahi mulutku tanpa memberi aku kesempatan untuk meraup oksigen.
Jari jemari Sandy saling bekerja sama untuk meremas dan memijat payudaraku yang sudah terasa membengkak. Ibu jari serta jari telunjuknya memelintir putingku dengan gemas. Sandy menguasaiku, tidak memberiku kesempatan untuk mengeluarkan satu kata pun. Yang bisa aku suarakan hanyalah desahan-desahan tertahan.
Aku berusaha mendorong dada Sandy saat diriku merasa sesak kehabisan nafas. Saat bibirnya terlepas dari bibirku, saat itulah aku merasa saliva sudah mengalir keluar dari sudut bibirku.
Nikmat yang memabukan. Hanya kalimat itu yang bisa mewakilkan bagaimana ciuman kami.
Sandy aku lihat menyeringai. Mataku melebar saat aku melihatnya hendak kembali meraup bibirku dengan rakus.
"Aaaa jangaaaaaaaaaan!"
Aku membuka mata dengan cepat. Jantungku berdetak tidak karuan cepatnya. Gila, jantungku menggila dengan deru nafas yang terdengar memburu. Saking memburunya, dadaku sampai terasa sesak.
Aku menyibak selimut yang sudah tidak lagi sepenuhnya membungkus tubuh ini. Aku edarkan pandanganku ke segala penjuru ruang kamar tidurku. Kosong, tidak ada siapa pun selain aku yang baru saja terbangun.
Mimpi. Mimpikah itu barusan?
Aku turun dari ranjang. Saat melangkahkan kaki, rasa tak nyaman aku rasakan melingkupi kewanitaanku. Namun, aku abaikan rasa itu sejenak untuk segera mengecek pintu kamarku yang ternyata masih terkunci dari dalam. Aku menghela nafas, yang tadi itu ternyata hanya mimpi.
Aku memasuki kamar mandi. Melucuti semua pakaianku untuk mandi. Saat aku melepaskan celana dalam, di sana terdapat cairan basah berwarna bening. Aku mengernyit, penasaran aku membawa jari ini untuk menyentuh kewanitaanku di bawah sana.
Basah.
HEH?!
Mimpi ciuman doang bisa bikin basah?!
Mimpi basahkah? Atau... mimpi dari setan karena aku lupa baca doa semalam? Astagaaa bagaimana ini, rasanya enak. Seperti nyata.
Aku melemparkan celana dalamku itu ke dalam keranjang pakain kotor. Sambil berjalan menuju ke bath up, aku memegang bibirku yang terasa hangat. He he he, enak.