"Untuk kesekian kalinya. Aku patah karena hal yang tak terduga. Entahlah, mungkin tembok pertahananku yang terlalu lemah. Hingga dengan mudah percaya pada komitmen yang ditawarkannya." -riri
~~~
Aku suka senja, indah, menenangkan, tapi sekaligus menakutkan. Dari senja aku belajar, bahwa kehidupan yang indah bisa saja diakhiri kegelapan. Seperti dia, yang menenangkan dan menghangatkan. Sayangnya ia hanya sebatas senja untukku, yang kemudian disusul gelapnya malam tanpa ada lagi cahaya yang datang.
Aku masih sangat muda saat itu, masih berseragam abu-abu. Tapi pikiranku melewati batas usiaku. Banyak yang bilang, pemikiranku sudah layaknya mahasiswa. Mungkin itu yang membuatku mudah untuk mengenalnya.
Sebut saja dia "senja". Jauh lebih tua dariku, tapi menjadi teman diskusiku. Ia datang saat aku masih terbelenggu masa lalu, yang hakikatnya sudah tak bisa diperjuangkan. Saat itu, aku masih saja mencoba mengais rasa yang sudah tak mungkin ada. Dan senja bukan hanya datang dan diam melihatku, ia menyadarkan aku bahwa duniaku tak sesempit itu. Duniaku itu luas. Lalu untuk apa aku masih mengais rasa, sementara dibelakangku ada orang yang menawarkan sejuta rasa untukku.
Akhirnya aku mencoba keluar dari belenggu itu, dan senja menawarkanku kenyamanan. Aku yang masih diliputi malam dengan senang menerimanya. Tapi sayangnya aku terlalu nyaman dengan kehangatannya, sampai aku tak waspada bahwa ia juga bisa tenggelam, dan terganti lagi oleh malam.
Saat itu aku masih menikmati senjanya, dengan menggantung belasan bahkan mungkin ribuan harapan. Ia masih menemaniku, berdiskusi denganku tentang apa saja. Namun sejenak ia melangkah mundur, awalnya tak kutau apa maksudnya. Sampai ia memintaku mendengarkannya.
Langit yang saat itu cerah, berubah menjadi badai, membuat gelapnya malam lebih cepat menyusul. Dan aku lagi-lagi terdiam. Seolah ingin menghempas nyawa mendengar pengakuannya.
"Aku telah punya rumah yang selalu menungguku pulang"
Jadi, bukan aku rumahmu? selama ini aku apa? Mungkin baru sebentar kita menjalin rasa. Tapi tidakkah terlalu gegabah jika ternyata kau sudah memilih rumah?
"Rumahku jauh lebih dulu ada dibanding kau"
Untuk kesekian kalinya. Aku patah karena hal yang tak terduga. Entahlah, mungkin tembok pertahananku yang terlalu lemah. Hingga dengan mudah percaya pada komitmen yang ditawarkannya.
Aku kembali terbelenggu dalam gelap. Bedanya, saat ini aku tak bisa mengais rasa. Tak ada lagi celah untukku dihidupnya. Dan lagi, aku bukan perempuan jalang yang dengan tega mengemis cinta pada laki-laki beristri.
Tapi, senja tak langsung meninggalkanku. Bayangnya masih mengudara dalam anganku. Menemaniku melewati malam, sampai pada akhirnya aku bertemu fajar yang sama hangatnya dengan senja, bertemu siang yang sama nyamannya dengan senja, bertemu hujan yang menyejukkan, bertemu pelangi yang ternyata lebih indah dibanding senja, kembali bertemu senja dan pada akhirnya kutemukan fajar yang memintaku menjadi rumahnya.
Senja yang menyakitiku juga mengajariku, bahwa hidupku bukan hanya tentang senja. Tapi tentang malam, badai, hujan, pelangi, fajar dan siang. Semua akan selalu menjadi fase dalam hidup dan haram bagiku lupa akan itu.
Ia mengajariku, bahwa jika kau suka senja. Kau harus lebih dulu bertemu malam, fajar dan siang. Dan kau harus rela terpisah dengan senja untuk bertemu mereka. Sama seperti sekarang, saat aku bersama fajar. Aku harus rela melewati malam yang gelap demi bertemu fajar. Dan rela berpisah saat siang menjemput.
~~
Dari Riri. Seorang yang pernah patah akibat mudah percaya