satu.

4.2K 160 14
                                    


Pukul 20.00 WIB, seorang gadis dengan jas putih sedang melamun dengan segelas ice americano di tangannya.

Prilly Latuconsina.

Tertulis di name tag berwarna emas yang melekat pada jas putih gadis itu. Seorang dokter berpotensi yang sedang mencari sebuah pengakuan atas kemampuannya sendiri.

Pembagian shift malam baru saja diumumkan. Kertas putih berukuran F4 dengan tulisan font-font bercetak tebal itu tertempel jelas di papan informasi ruangan dokter. Prilly menghela nafas, tidak ada perubahan dalam tulisan yang ada di kertas itu. Masih sama dengan kertas yang di tempel seminggu lalu. Atau mungkin memang tidak akan pernah berubah. Namanya akan terus tertulis di kolom shift malam UGD selamanya. Moodnya jatuh kedasar, seharusnya ia tahu akan fakta yang ada dan tidak berharap lebih banyak.

Prilly meninggalkan ruangan dokter dan pergi menuju UGD. Melewati lorong bangsal VIP yang lumayan sepi. Hanya beberapa dokter yang berkeliling door to door untuk mengecek perkembangan kondisi pasien mereka.

"Tidak sekarang, mungkin nanti." Prilly bergumam seorang diri.

Ia berusaha meyakinkan hatinya bahwa suatu saat nanti Tuhan pasti akan memberikannya kesempatan. Prilly lantas mempercepat langkahnya menuju ruang UGD. Namun belum setengah jalan sampai UGD, ujung kepalanya menubruk sesuatu.

Kepala yang sedari tadi ia tundukan karena menahan sakit itu ia dongakan. Melihat apa atau siapa yang berhasil mencium dahinya.

Dan betapa lemasnya Prilly setelah melihat 'siapa' yang ia tubruk.

Dokter Maxime Bouttier.

Dokter paling tampan dengan penuh talenta. Memiliki banyak penggemar dari profesor hingga pasien yang ada di rumah sakit. Dan mayoritas dari mereka pastinya perempuan.

"Kamu dapet shift malam UGD lagi ya?"

Suaranya Dokter Maxime benar-benar sukses mengacaukan isi kepala Prilly dalam sekejap. Seluruh tubuhnya tegang, senyumnya canggung, dan Prilly tidak bisa berkata-kata.

Dan mungkin gejala-gejala ini sudah masuk dalam diagnosis jatuh cinta?

"Aku tahu itu pasti sulit untuk kamu jalani. Tapi bersemangatlah!"

Kali ini tidak hanya sebuah suara lemah lembut yang cenderung maskulin. Tapi ditambahi dengan senyuman semanis kue anak-anak yang biasa disebut dengan gula kapuk.

Bahkan sampai detik ini pun Prilly masih tidak bergerak atau mengatakan sesuatu.

Ayo sadarlah! Yang di depan mu ini adalah dokter senior yang paling dihormati. Jaga image mu sedikit di depannya. Setidaknya jangan meninggalkan kesan jelek.

"Hey Prilly! Are you fine?"

Maxime sedikit mengguncang pundak Prilly. Barulah gadis itu berhasil mendapatkan fokusnya kembali.

"A-ah yes sir! Maaf dokter, anda terlalu tampan. Saya jadi tidak fokus."

Prilly membulatkan matanya sedetik setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

Apa yang dia lakukan?

Bicara apa dia barusan?

Sudah gila ya?

Sial! Iya aku sudah gila.

"Mungkin tubuhmu butuh tambahan cairan ya. Ayo aku traktir kopi, agar konsentrasimu kembali."

Habis sudah kau Prilly Latuconsina!

Tidak ada pilihan lagi selain tidak menolak. Ingat-ingat lagi bahwa Prilly baru saja melakukan hal yang memalukan. Tapi jika saja dia menolak ajakan minum kopi seniornya ini. Apa yang akan dipikirkan oleh Maxime?

Junior ini, sudah bersikap tidak benar. Malah bersikap sombong dengan menolak ajakan minum kopi dari senior sepertiku?
Haha konyol sekali.

Apakah akan seperti itu?

Ah mungkin tidak.

Itu hanya pemikiran Prilly saja.

Dokter Maxime kan sangat baik hati. Dia bak malaikat yang menutupi sayapnya dengan jubah dokter. Ia tidak akan berpikir hal seperti itu.

[To Be Continued.]

Annoying YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang