I'M NOT AFRAID

229 39 36
                                    

Hari ini, ledakan kembali terdengar. Tiada hari tanpa suara jerita dari orang-orang yang terluka.

Di negara ini, berperang adalah kegiatan sehari-hari untuk para pemberontak. Kota-kota dihancurkan, para penduduk dipaksa bergabung dengan pemberontak dan menciptakan lebih banyak pemberontak.

"Grey, cepat masuk ke dalam." Ibuku mendorongku masuk ke dalam sebuah ruangan sempit.

Aku dengan cepat menutup pintu, tapi suara teriakan ibuku membuatku sedikit membukanya dan mengintip mereka dari dalam.

Sungguh pemandangan yang membuatku membeku. Tangan dan kakiku gemetar melihat ayahku terbaring di lantai, penuh darah dan tidak bernyawa lagi. Ibuku memeluk ayahku dan memohon pengampunan dari pemberontak yang mengincar mereka.

"Aku harus menolong ibu." Pikirku.

Aku sangat ingin menolong ibuku, tapi tubuhku menolak untuk bergerak. Aku tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya. Dan akhirnya, sebuah tembakan peluru mengenai kepalanya.

"Grey!" Seseorang memanggil namaku.

Pemberontak yang membunuh kedua orang tuaku, sekarang berjalan mendekati ruangan tempatku bersembunyi. Aku ketakutan, mataku tidak dapat berpaling dari mereka. Apa yang harus kulakukan?

"Grey!" Aku masih bisa mendengar suara panggilan itu.

Pintu terbuka, pemberontak itu menyapaku sambil menodongkan pistolnya ke kepalaku.

"Grey, bangunlah!" Teriaknya lalu menampar pipiku.

Aku membuka kedua mataku dan terbangun di atas kasur yang tidak begitu nyaman. Tubuhku masih gemetar ketakutan karena mimpi yang baru saja kualami.

"Grey, kau tidak apa-apa?" tanya pria yang duduk di sebelahku.

Namaku adalah Grey Maxwell, umur 22 tahun. Beberapa bulan yang lalu, orang tuaku tewas terbunuh oleh pemberontak. Aku yang hampir terbunuh, diselamatkan oleh pemberontak kelompok lain yang kebetulan berada di tempat itu.

Setelah kejadian itu, aku dibawa ke markas salah satu anggota pemberontak yang menyelamatkanku. Tanpa sadar, aku sudah menjadi bagian dari mereka. Hanya saja, aku belum pernah melakukan apapun selama bergabung dengan mereka. Yang kulakukan hanyalah berbaring dan memikirkan rasa bersalahku terhadap ibuku.

"Minumlah." Pria yang duduk di sebelahku memberiku botol air.

"Aku tidak butuh." Aku mendorong botol itu hingga terjatuh di atas lututku.

"Kau bisa terkena dehidrasi kalau tidak sering minum."

"Aku tidak peduli."

Yang duduk di sebelahku bernama Kevin, umur 34 tahun. Dialah yang menyelamatkanku saat aku hampir terbunuh oleh pemberontak yang menyerang keluargaku.

Suasana hatiku kembali kacau, tangan dan kakiku bergetar. Aku memeluk lututku dan menyembunyikan wajahku yang mulai menangis. Kevin yang melihatku, langsung pergi dari ruangan, meninggalkanku sendirian. Aku menghantamkan tangan kiriku ke dinding dan membuatnya sedikit terluka.

"Harusnya aku mati saja saat itu." Gumamku.

Tepat setelah aku mengatakan itu, Kevin kembali dengan membawa botol air lain. Tanpa berbicara, dia hanya mengarahkan botol itu ke telingaku.

"Sudah kubilang aku tidak butuh." Protesku.

"Aku menyelamatkanmu bukan untuk melihatmu seperti ini." Kata Kevin.

"Aku tidak memintamu menyelamatkanku, harusnya kau biarkan saja aku mati saat itu."

"Orang tuamu tidak akan menyuruhmu bersembunyi jika mereka ingin kau mati. Aku tahu butuh waktu lama untuk pulih dari keadaanmu sekarang. Tapi kalau kau tidak berusaha untuk bangkit, kau menyia-nyiakan pengorbanan mereka."

I'M NOT AFRAID [Oneshoot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang