Hawa mendung menggelantung di seluruh kota kala Nady pulang bekerja di salah satu rumah makan dekat kompleks. Waktu menunjukan hari menjelang malam. Sepulang sekolah, Nady memang bekerja paruh waktu guna menambah uang untuk biaya hidupnya sendiri. Di tengah jalan terlihat olehnya seseorang yang Nady hindari sejak dulu tengah melangkah kemari. Nady yang melihat sosok itupun berusaha menenangkan diri.
Orang itu semakin dekat, Nady mulai gugup. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Apakah memang harus kabur? Ah, ya kabur adalah pilihan terbaik. Tapi-
"Nady! Tunggu. Kita perlu bicara."
Terlambat. Sudah tak ada waktu untuk kabur. Nady kesal, "Jangan datang dan ganggu gue lagi."
Nady hendak beranjak, kala tangannya lebih dulu di genggam erat, menoleh. "Selama ini kehidupan gue baik-baik aja. Itupun kalau lo nggak pernah datang dan menghancurkan segalanya. Kenapa lo setega itu?" ucapnya parau.
"Gue nggak bermaksud buat-"
"Terlambat Ardan. Sejauh apapun gue gantungin harapan buat kembali utuh kayak dulu, itu nggak bisa semudah membalikkan tangan."
"Gue tau, Na."
"Dulu, lo pernah jadi panutan buat gue. Hm, itu dulu. Sekarang gue kehilangan sosok itu. Satu-satunya orang yang paling gue banggain udah nggak ada lagi."
"Na, gue bisa ngejelasin kalau-"
"Nady, kita pulang. Ayo!" itu teriakan Dani. Syukurlah dia datang di waktu yang tepat.
"Hm. Kita pulang Dani." katanya sebelum meninggalkan Ardan tanpa sepatah katapun.
Ardan hanya menatap dua sosok yang mulai menjauh itu dengan tatapan hampa, "andai semua itu nggak pernah terjadi." bisiknya rendah sebelum beranjak pergi.
***
Rumah Dani.
Di sinilah mereka sekarang, dengan Nady yang tengah sibuk dengan pikirannya dan Dani yang bingung memulai percakapan.
"Na, ajarin gue main biola lagi napa. Lo kemarin udah janji, kan?"
Tampaknya lamunan Nady seketika buyar. Mode pengalihan diaktifkan. "Eh, iya gue lupa. Tunggu bentar. Kayaknya kita ada yang kurang deh, Dan hubungi Anas sama Anis sekarang." Dani yang diberi mandatpun mengangguk antusias. "Siap."
Tiga orang mendekatinya kala Nady tengah memainkan alunan melodi yang indah setelah mempersiapkan latihan mereka. Biola adalah nyawanya kala sedih seperti saat ini. Tak heran jika alunannya terdengar menyayat hati. Biola tempatnya mengeluarkan semua emosi selama delapan belas tahun ini dia simpan dengan sangat rapi. Hanya dengan gesekan demi gesekan inilah Nady membuat semua orang yang ada di ruangan itu terpaku kagum.
Di luar tengah hujan. Seolah iramanya menyatu dengan permainan Nady, yang tampaknya membuat Nady tak menyadari kehadiran tiga orang di hadapannya.
Permainan Nady selesai. Perlahan kelopak matanya terbuka, menampakkan iris kelabu yang sering dikagumi orang-orang kala memandangnya.
"sorry, gue nggak denger suara pintu kebuka tadi. gue nggak tau kalian udah datang ternyata." Nady seperti bingung hendak berkata apa, terlalu terkejut melihat keberadaan murid sekaligus sahabatnya saat ini tengah memandangnya geli. "ya jelas kali, Na. Lo aja serius banget mainnya. Gimana bisa sadar kalau kita datang dari tadi." Anas yang mewakili lainnya bersuara.
"Oke sorry. Kita bisa mulai sekarang?"
"Ayo!" teriak ketiganya kompak.
Ditengah-tengah melodi yang mereka jelajahi serempak, Dani sengaja mencuri-curi pandang lewat sudut matanya. Terlihat Nady tanpa sadar atau mungkin sengaja mengabaikan aliran kecil di pipinya. Dani tau, serapuh apapun seorang Nady, dia akan sangat terpuruk bila kembali bertemu sosok-sosok di masalalunya.
"Andai gue bisa jagain lo lebih baik Na, lo gak akan kayak gini." Batin Dani sesak.
Alunan melodi sahut menyahut mengalahkan gemerisik hujan di luar. Keempat anak manusia ini tengah tenggelam dalam gesekan-gesekan yang indah.
***
"Gue tau gue terlambat waktu itu. Harusnya gue lebih cepet jemput lo, maafin gue, Na. Gue gagal jagain lo."
Nady tau ini pasti terjadi. Dani akan sangat menyalahkan dirinya karena Nady bertemu dengan Ardan sore tadi. Mau bagaimana lagi, menghindar saja sudah sangat sering. Ada kalanya Nady harus menyiapkan diri kala bertemu mereka satu persatu. Tapi entah kapan. Sering kali dia menguatkan diri dari bayang-bayang masalalu. Hingga saat ini Nady lebih memilih menghindar. Dan kerapuhannya berimbas pada Dani yang merasa bersalah karena melihat Nady sedih karena mereka. Lagi.
"Lo nggak salah, Dan. Gue harus berani hadapi mereka. Gue nggak mungkin hidup kayak gini terus. Mereka yang tega buat gue jadi sendiri kayak gini. Ada kalanya mereka pasti datang lagi. Entah meminta maaf atau kembali memporak-porandakan kehidupan gue lagi. Gue harus siap, kan?"
Dani tertegun. Sekian lama Nady memendam segala emosi yang ada. Menutupi segalanya dengan ketakutan, kini dia mulai melangkah. "Lo yang terbaik, Na."
Ditengah isak tangis yang Nady tuangkan. Dani hanya sanggup menahan sakit kala mendengar seorang yang disayanginya harus seperti ini. Dani memeluk Nady erat, menenangkan. Hanya ini yang bisa dia lakukan saat ini.
*****
Hulaaa gimana tuh, penasaran nggak sama kelanjutannya? Sebenernya lagi males banget buat nulis. Tapi apa daya karena ada ide jadi langsung deh aku tuangkan.
Jangan lupa vote dan koment sebanyak-banyaknya. Author butuh semangat dan bimbingan dari kalian....
Sampai ketemu di chapter berikutnya.. Bye!!!
Salam,
Lianditi
KAMU SEDANG MEMBACA
DAN BILA
Teen FictionLuka gadis itu belum kering, menyayat hati meninggalkan bekas yang enggan pudar. Hidupnya hanya bergantung pada Dani yang selalu ada di sampingnya. Berusaha melawan rasa sakit dari bayang bayang masalalunya. Akankah Nady bisa melewati semuanya bersa...