Headphone©miisakura
Naruto©Masashi Kishimoto
Hinata duduk sendirian di cafe itu. Pandangannya ia arahkan ke jendela besar di sampingnya yang terarah ke jalanan yang mulai lengang di malam hari.
Seorang pelayan datang dan mengernyit sesaat ketika berada di dekatnya. Pasti karena suara musiknya. Hinata sudah terlalu sering dipandang aneh karena headphone besar yang selalu bertengger di kepalanya. Bukan karena headphonenya, tapi karena volume suaranya. Gelombang suara dari headphonenya bisa terdengar sampai ke orang di sekitarnya dan membuat mereka menoleh padanya.
"Anda baik-baik saja, Nona?" si pelayan berbicara dengan sedikit berteriak, mencoba mengalahkan suara musik metal yang sedang didengarkan Hinata.
Hinata hanya menoleh dan memandang pramusaji itu dengan pandangan kosong."Nona?" sekali lagi si pelayan menyapa dan memberi gestur agar Hinata melepas headphonenya supaya mereka bisa berkomunikasi dengan lebih lancar.
Hinata menggeleng, ia berkata bahwa ia baik-baik saja dan memesan secangkir latte hangat. Ia memaksa pelayan itu pergi dengan cara yang sangat halus.
Sepeninggal si pramusaji, Hinata kembali melamun. Rasa marah ia rasakan diam-diam. Kenapa ia harus menerima ini semua? Kenapa dari semua orang harus dia?
Hinata benci sekali menjadi berbeda. Dia tuli sejak lahir. Tapi Tuhan tidak memberinya cobaan sesederhana itu. Telinganya bisa mendengar hal-hal yang berbeda. Ia menangkap frekuensi lain yang lebih jujur dan rumit. Gelombang otak. Singkatnya, ia bisa mendengar isi pikiran seseorang. Mau atau tidak mau.
Hinata menaikan lagi volume suara musiknya hingga ke tingkat maksimal. Ia sedang sial. Suara pikiran tiga orang pengunjung dan satu orang pelayan serta dua pegawai di dapur cafe terdengar seperti angin ribut.
Kebanyakan orang di sana bukan orang yang baik. Pria di dekat pintu masuk sedang berpikir bagaimana bisa meniduri pelayan malang yang tadi menyapa Hinata. Dua orang di sebrang kursi Hinata saling memaki dalam kepala mereka. Dan dua orang di dapur, berpikir untuk mencuri bahan makanan.
Hinata menghela napas lelah. Mendengar pikiran seseorang bukan sesuatu yang menyenangkan jika hal-hal seperti itu terjadi.
Tapi, ada kalanya Hinata bisa mematikan pemutar musiknya jika yang terdengar adalah tentang kampung halaman yang indah atau tentang anak-anak yang menggemaskan.Hinata bukanya tidak ingin bersyukur, tapi semuanya mungkin akan lebih baik jika ia bisa mengon/offkan kemampuannya seperti saklar lampu. Namun, pasti ada alasan kenapa Hinatalah yang menjadi the choose one.
"Ini latte pesanan anda, Nona."
Hinata tersenyum lembut dan berterima kasih. Ia menyelipkan uang tip di tangan gadis itu. "Nanti jangan pulang sendiri ya. Lewatlah jalanan yang ramai."Mungkin hal-hal seperti inilah yang bisa ia lakukan untuk membantu orang lain dengan memanfaatkan kelebihannya. Ia tidak bisa secara gamblang menyebut ia bisa mendengarkan pikiran karena itu hanya akan membuat telinganya berdenging dan sakit kepala. Yang pasti ia tahu gadis itu mendengarkannya dan akan lebih bersikap waspada.
Ekspresi Hinata berubah menjadi lebih cerah. Suara-suara di telinganya mengabur membuatnya merasa lega. Ia mentap pintu yang masih kosong melompong dengan berbinar-binar hingga seorang pria muncul dan membunyikan lonceng pintu.
Pria itu berhenti sebentar di pintu dan menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Sampai ia melihat senyum lebar yang cantik dari seorang gadis, ia lantas melambaikan tangannya dan balas tersenyum.
"Kenapa menunggu di sini?" Hinata membaca gerak bibir si pria yang tanpa tendeng aling-aling. Hinata sangat mengerti kenapa. Tangannya yang digenggam pemuda itu mengerat, ia mendesah lega dengan kehadiran lelaki itu.
"Tidak apa-apa."
"Jangan memaksakan diri, Hinata. Ayo pergi." Si pria menuntunnya untuk berdiri dan melenggang pergi dari cafe itu.
Hinata tersenyum, sadar bahwa tidak sekalipun pria ini melepaskan genggamannya.
Sasuke Uchiha adalah antibodi untuknya. Dia datang untuk mencegah Hinata melukai dirinya sendiri karena kekuatan spesial yang dimilikinya. Menyentuhnya, Hinata akan kehilangan semua ketidaknormalannya. Ia hanya akan menjadi manusia biasa yang selama ini diimpikannya. Tanpa dengung di telinganya dan tanpa headphone yang harus terus menerus dipakainya.
Fin
2 Febuari 2016