Episode 2 - Gerbang

488 156 270
                                    

"Gubrak!"

Sebuah pendaratan yang gagal. Mereka berdua jatuh. Ketika Devin hendak menembus portal, tiba-tiba saja ia tersandung kakinya sendiri, hilang keseimbangan lalu terdorong ke bawah menubruk Arter.

"Aduh ...!" Arter melirih, memegangi pinggangnya. "Ish! kalau jalan liat-liat dong," serunya ketus, berusaha bangun sambil mengibas-ngibas pakaiannya yang kotor.

"Maaf, maaf tadi lagi meleng." Devin bangkit dari duduknya, cengar-cengir merasa seperti tidak ada salah.

Arter terlihat terengah-engah, sangat lemas tidak berkeringat. Membuka sebuah portal menguras banyak energi. Ia sebenarnya bisa saja semaput di tempat jika tidak kuat menahannya. Oleh karena itu, Arter hanya dapat membuka portal satu kali sehari, ia memilih begitu untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.

"Kriingg ...!"

Bel sekolah telah berbunyi. Arter lari meninggalkan Devin seorang. Setidaknya butuh waktu untuk berlari ke depan gerbang sekolah. Ia memaksa kakinya untuk bergerak cepat walaupun fisiknya sudah lelah.

Tempat berlabuh mereka sebenarnya adalah taman di sebelah sekolah, tepatnya di dinding pembatas antara sekolah dengan taman. Tempat itu aman, dikelilingi oleh semak-semak yang tinggi dengan dua pohon mangga di sisinya. Taman ini juga sepi peminat ketika di hari kerja, hampir selalu tidak ada seseorang ketika Arter dan Devin datang.

"Pak! Pak! tunggu sebentar saya belum masuk!" ruah Arter berlari terpontang-panting, tak menghiraukan apa yang ada di depannya.

"Brak!"

"Aman!" Arter berseru bahagia, sukses melewati gerbang sekolah yang kini ditutup rapat. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, Pak Asep yang menjadi satpam hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Arter. "Ayo Devin kita ma—Eh?!"

Arter diam ternganga. Matanya membulat. Mulutnya setengah terbuka. Devin masih berada di luar, berdiri di balik jeruji pagar. Sudut mulutnya mencibir. Bola matanya berputar ketika Arter memandanginya. Ia cemberut.

"Pak, adik saya boleh ma—,"

"Enggak!"

"Tapi—,"

"E-N-G-G-A-K. Peraturan ada untuk dipatuhi, You know...?" Pak Asep mengomeli Arter, mulutnya maju mengerucut seolah-olah ia bercakap dalam aksen londo. Ia tidak membiarkan kesempatan Arter untuk memberi argumen.

Arter mendengus seraya tersenyum kecut. Pak Asep masih ada di pendiriannya. Mau bagaimana lagi, peraturan tetaplah peraturan, walaupun terkadang banyak yang melanggar, tetap saja jika ketahuan ada konsekuensinya. "Duluan ya!" Arter berdadah-dadah ria, membiarkan Devin dengan murid-murid terlambat lainnya.

Alasan sebenarnya mengapa Arter tidak langsung menargetkan portalnya ke dalam area sekolah disebabkan akan menimbulkan kecurigaan. Pernah sekali ketika Arter membuka portal itu di belakang gedung sekolah. Apes, petugas yang berjaga saat itu melihat Arter dan Devin berjalan dari belakang gedung, dibawalah mereka ke ruang guru, diduga masuk lewat jalan tikus.

Sekolah itu berbentuk persegi panjang, dengan lapangan di tengah-tengah dan empat gedung bernamakan huruf alphabet berurutan. Gedung A berada di depan, sementara itu gedung B dan gedung C bersebelahan dengan taman dan sekolah menengah pertama. Yang terakhir gedung D. Berada di belakang dan bersebelahan dengan lahan tanaman sawit juga jalan warga. Dipisahkan oleh dinding bata yang bersemen tidak rata, sehingga orang-orang akan mudah memanjat dinding itu, masuk ke dalam sekolah. Oleh karena itu, anak-anak kelas gedung D yang tidak cepat-cepat menaruh tasnya di kelas akan disinyalir masuk lewat jalan belakang.

Arter || On-GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang