0

9 3 1
                                    

Sepi. Senyap. Gelap. Seakan tidak ada kehidupan lain yang bergerak disini selain deru nafasku dan detak jantungku yang berpacu tidak normal, menimbulkan suara cicitan ketakutan yang tertahan dari pita suaraku.

Tapi aku tahu, aku tidak sendirian disini. Aku tahu aku sedang diawasi dari jauh oleh segerombolan orang. Setidaknya itu yang kurasakan saat ada yang menghujani tatapan kebencian dari sekelilingku.

Angin dingin berhembus, membuatku mau tak mau mengelus tengkukku yang terasa dingin. Aku menatap kebawah, tak ada alas kaki yang bertengger disana, membuatku langsung bisa merasakan tekstur tanah yang kupijak.

Seperti sehabis hujan. Karena tanah yang kupijak ini basah dan juga... Lengket?

Aku tak mengindahkan cairan apa yang sebenarnya terasa lengket di kakiku ini. Aku mulai berjalan lurus ke depan. Kubiarkan gaun tidurku yang panjang terseret di tanah, malas untuk sekedar kuangkat. Hingga aku terhenti karena kakiku menginjak sesuatu---mungkin ranting karena teksturnya mirip ranting.

Kuabaikan ranting itu dan terus berjalan. Sialnya, makin aku berjalan, ranting-ranting itu kian mengganggu perjalananku. Kusingkirkan ranting tersebut ke sebelah kiri dan kanan dengan kakiku.

Sekira sudah tak ada ranting di depanku lagi, aku pun melanjutkan perjalananku menyusuri tempat ini.

Belum ada semenit, kurasa, aku menabrak sesuatu yang membuat aku terbentur ke belakang hingga terduduk.

Aku meraba benda yang menghalangi jalanku itu---karena disini gelap dan aku tak mempunyai lentera atau penerangan lainnya---dan beberapa detik setelahnya, aku mendengar seperti ada yang menangis tersedu-sedu sambil melenguh kesakitan.

Uuh, s-sakit...

Aku mengedarkan pandangan di sekelilingku. Masih gelap. Tak menunjukkan adanya tanda-tanda kehadiran seseorang atau makhluk. Aku menghela nafas, tak selang beberapa waktu, aku mendengarnya lagi, kali ini diikuti oleh beberapa orang bercakap-cakap.

...ambil saja jantungnya!...

...dasar pengkhianat...

...kakak!!! Tolong kami kak!...

...bunuh saja...

Aku menajamkan pendengaranku untuk menyimak lebih saksama. Kututup mataku karena ingin fokus mendengar suara-suara yang seakan berada di sekitarku. Hingga suara percikan api yang menyala, tawa orang-orang yang melengking, suara tangis beberapa orang bercampur baur menjadi satu. Seakan aku ikut disana dan menyaksikan kejadian itu.

...mari ambil...darinya...

Aku membuka mataku seketika mendengar suara tersebut dari sebelah kiriku. Dekat. Sangat dekat. Seolah berbisik kepadaku. Dan pada saat aku membuka mataku, aku melihat ada anak laki-laki didepanku, menarik gaun tidurku dengan tangannya yang mungil sekaligus dingin.

Ketika anak laki-laki tersebut mendongakkan kepalanya, rasanya aku terperanjat kaget dan ingin berteriak serta lari sejauh yang aku bisa. Bagaimana aku tidak ingin melarikan diri jika penampilannya saja sangat horror dengan jahitan yang mengeluarkan darah di wajahnya yang lugu, serta bola mata yang mengeluarkan darah dan nanah.

Tetapi, ada suatu hal yang membuatku penasaran akan raut wajahnya. Meski ia menyeramkan, tetapi aku bisa melihat ia menunjukkan air muka yang sedih dan kesepian.

Rasa takutku berubah menjadi rasa penasaran sehingga, entah kekuatan dan keberanian darimana, aku tersenyum kepadanya. Kulihat bocah laki-laki itu kaget akan reaksiku, dan menyeringai horror.

Perlahan, rasa ketakutanku kembali muncul tatkala bocah itu memanjat tubuhku.

Ya. Bocah itu memanjat tubuhku dan mencekik leherku dengan tangannya yang dingin. Ia tertawa melengking dan sangat mengerikan di telingaku.

Aku hampir memekik tidak karuan tatkala sebuah bunyi bising terdengar.

Dan semuanya kembali normal seperti sediakala.

Aku terbangun di kamarku sendiri dengan keringat dingin meluncur di pelipisku.

Red SiblingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang