Prolog

14 2 1
                                    

   Mei 2019

   Siang itu, tepatnya di hari senin minggu pertama, langit Jakarta kembali merasakan teriknya matahari, setelah melewati musim hujan yang cukup lama. Dari balik jendela lantai tiga, Deva menatap tajam layar laptopnya. Tangan kanannya sibuk mengutak-atik mouse di sebelah kanan laptop. Sambil sesekali ekor matanya melirik jam di dinding yang bergambar klub bola asal Itali, AC Milan.

   Waktunya istirahat untuk makan siang, tapi kerjaannya tak kunjung selesai. Kliennya masih enggan menerima hasil kerjanya, katanya kuno dan kurang fresh. Ah, dia saja yang tidak mengerti seni, batin Deva.

   Deva diam sejenak untuk memikirkan ide tambahan sesuai permintaan klien. Biasanya, dia menatap ke arah luar untuk mencari ide. Perempatan yang macet, jalanan yang selalu riuh dengan para pejalan kaki, serta asap knalpot dari berbagai kendaraan.

   Sudah dua tahun Deva bekerja di team kreatif sebagai art director di Lightstar Indo Agency, sebuah perusahaan advertising agency yang cukup terkenal di Jakarta.

   Tiba-tiba saja, sebuah suara membuyarkan diamnya.

   "Dev, belum istirahat? Bentar lagi ada meeting loh," sapa seseorang dari balik pintu.

   Deva berbalik dan menatap orang yang menyapanya, "Iya Pak, ini tinggal dikit lagi."

   Orang itu menghampiri meja kerja Deva dan melihat apa yang ditampilkan di layar laptop. "Astaga, proyek dari Pak Anton belum beres juga? Deadline seminggu lagi kan?"

   Deva bingung mau menjawab apa. Dia hanya bisa mengernyitkan alis, tanda bahwa dia membutuhkan sebuah jawaban pasti.

   "Oh iya, aku lupa kalau orang tua botak itu memang banyak maunya. Tapi mau gimana lagi, dia sudah menjadi klien kita bertahun-tahun." Tutur orang itu sambil berkacak pinggang.

   "Iya juga sih, Pak, tapi kesal juga dengarin ocehannya. Ngomongnya kek nonton one piece, nggak habis-habis." Deva terkekeh, diikuti orang yang di hadapannya.

   "Ya udah, sekarang kamu tutup laptopmu, terus pergi makan. Jam satu nanti ada meeting penting. Perusahaan Minora akan mengeluarkan wafer coklat terbaru, dan mereka membutuhkan kita untuk iklannya." Jelas orang itu sambil memegang pundak Deva, lalu beberapa menit kemudian pergi meninggalkan Deva yang masih belum beranjak dari tempat duduknya.

   Orang tadi namanya Rizal Anugrah. sesuai namanya, dia menjadi anugerah perusahaan ini. Menjadi direktur kreatif adalah tanggung jawab besar. Di bawah pengaruhnya, dia mampu membuat perusahaan ini terus mengalami peningkatan.

   Walaupun sudah berkeluarga dan memiliki dua anak, tapi kelihatan seperti orang yang baru lulus kuliah. Mungkin saja, karena dia orangnya santai, lucu, dan akrab sama bawahannya, kelihatan jiwa mudanya.

   Deva meregangkan otot-otot yang sempat kaku, setelah berjam-jam hanya duduk saja. Kemudian dia berdiri merapikan kemeja denim berwarna biru, lalu memperhatikan sepatu  converse kesayangannya. Hal yang paling tidak disukainya bila ada kotor sedikit saja di sepatu kesayangannya itu.

   Deva berjalan menyusuri lorong kantor di lantai tiga, ketika hendak turun ke lantai dua, Deva dikejutkan sesuatu. Sebuah tas baguette bag berwarna krem muda yang diletakkan di rak depan musholla. Bukan tasnya, tapi sebuah coffee keychain, ada inisial huruf C di gelas pitcher.

   "Apakah dia? Atau hanya perasaanku saja?" Deva mematung di depan rak itu, matanya menatap gantungan kunci seakan-akan tak mau berpaling.

   Lagi dan lagi, sebuah suara membuyarkan lamunannya. Kali ini bukan dari Pak Rizal, direkturnya, tapi Bondan, seorang sahabat baiknya yang berposisi sebagai copywriter.

PERFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang