Gerbang Masuk

32 4 0
                                    


Entah sudah berapa lama pemuda itu berjalan. Dia cukup membanggakan staminanya, bertahun-tahun melatih pembagian energi yang efektif bukannya tanpa hasil. Begitu pun napasnya mulai terengah. Terlihat jelas uap putih timbul pada setiap embusan. Mungkin karena jalan berbatu rapat yang dia lalu makin lama makin terasa menanjak.

Setengah perjalanannya terbantu karena menumpang pada gerobak sapi milik petani yang hendak berangkat ke ladang di lereng gunung. Namun yang menjadi tujuannya jauh lebih dalam lagi, hingga terpaksa meneruskan dengan berjalan kaki.

Ada sedikit harapan dalam benaknya untuk bertemu gerobak atau kendaraan lain yang bisa tumpangi lagi. Namun nampaknya harapan itu tidak akan terkabul. Semakin jauh dia melangkah, semakin jarang dia bertemu dengan orang lain.

Saat itu sudah memasuki akhir musim semi, seharusnya cuaca juga sudah menghangat. Namun tidak demikan halnya dengan cuaca gunung. Dalam bungkusan mantel tebal untuk dikenakan saat perjalanan saja dia masih bisa merasakan dinginnya angin gunung yang sesekali bertiup. Tas bepergian berat yang dia cangklong di bahu, menambah rasa hangat.

Beruntung dia berangkat lebih awal, hingga bisa menyusuri jalan gunung saat hari masih terang. Masih ada cahaya dan kehangatan matahari. Terpaan sinar hangatnya menimpa rambut pemuda itu, membuat helai-helai halusnya berkilau kecokelatan.

Dia menengadah. Mata cokelatnya memandang ke arah tempat yang menjadi tujuannya yang masih belum juga terlihat, sementara di sekitar puncak bukit di kejauhan mulai tampak cumulus nimbus, awan tebal pembawa hujan. Rasa cemas mulai menyergap. Dia harus segera sampai sebelum angin membawa awan hujan itu menuju ke arahnya—tentu saja ada kemungkinan angin membawanya ke arah lain, tetapi dia tidak mau ambil resiko.

Pemuda itu meraih gulungan kertas tipis namun cukup liat karena dilapisi bahan kedap air dari saku mantelnya. Kekurangan lapisan kedap air itu hanyalah membuat kertas yang tergulung akan sulit diluruskan kembali saat dibentangkan. Bukan masalah besar, bila dibandingkan dengan resiko kehilangan peta akibat kehujanan atau tercebur ke air.

Dia menahan tepian petanya dengan botol minuman dan kerikil untuk memudahkan saat memastikan kembali posisinya dengan kompas saku. Posisinya sudah benar. Bila dia meneruskan menyusuri jalan gunung tempat dia berjalan saat itu, cepat atau lambat dia akan mencapai tujuan. Pemuda itu melanjutkan berjalan, setelah memasukkan kembali gulungan peta ke saku dalam mantelnya.

Bila tidak sedang dikejar waktu, perjalanannya tidaklah buruk. Tidak banyak kuntum bunga-bunga musim semi yang tersisa, tetapi semburan warna hijau pekat yang mulai menggantikan warna muda pucuk-pucuk daun dari pepohonan dan semak yang ada terlihat menyenangkan mata. Pemuda itu memenuhi paru-parunya dengan udara sejuk pegunungan, menjadikannya pemantik semangat, menyalakan energi untuk melangkah lebih cepat lagi.


***


Matahari sudah condong ketika jalan gunung yang dia lalui berakhir. Dia bisa melihat bangunan besar di puncak bukit, dengan gerbang kayu ganda berwarna merah. Setiap langkahnya jadi terasa lebih ringan walau kakinya sudah mulai pegal karena berjalan berjam-jam. Dalam beberapa menit saja pemuda itu berhasil mencapai gerbang.

Suara gong besar seperti bergema di dalam kepalanya. Mata cokelatnya terbelalak, sementara hatinya menciut. Apa yang sedari tadi dia kira sebagai gerbang kayu biasa ternyata adalah sepasang pintu raksasa. Setelah terbebas dari dahan-dahan pohon yang menutupi pandangannya, dia juga jadi bisa melihat bahwa bangunan yang menjadi tujuannya memiliki tembok panjang yang mengapit gerbang raksasa yang ada di hadapannya.

Pemuda itu cukup jangkung. Namun apa yang terpampang di depan matanya membuat dia merasa sangat kerdil. Di hadapan pintu yang menjulang itu dia terlihat bagai seorang liliput yang hendak berkunjung ke istana raksasa.

Right EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang