15. Khawatir.

27 4 1
                                    

...

Aisa membuka kedua matanya pelan, perut dibawah bagian kanannya masih sangat terasa sakit. Aisa menghela nafas, ia sudah tau keadaannya akan seperti ini. Jadi ia tidak akan bingung bertanya-tanya kenapa sekarang ia bisa seperti ini, lagi.

"Kamu udah bangun?" Aisa menoleh, menatap Lia yang baru saja memasuki kamarnya sambil membawa nampan berisi obat-obatan.

"Abra mana Nda?" Tanya Aisa parau.

Lia tersenyum, "Tadi malam Bunda suruh pulang, kasian dia sekolah. Nanti kesini kok, Bunda udah bilang." Jelas Lia, membelai lembut kepala Aisa.

"Ayah?"

"Ayah kamu masih diluar kota sayang, Bunda gak kasih tau. Nanti malah Ayah kamu langsung terbang kesini padahal kerjaannya belum selesai." Jelas Lia lagi, membuat Aisa menghela nafas. Mengerti.

"Cuma gara-gara Ice Cream kan Nda? Gak kambuh?" Lia yang mengerti maksud itu Aisa tersenyum miris.

"Kamu kuat sayang." Balas Lia yang cukup membuat Aisa menghela nafas lega.

Aisa memang tidak diperbolehkan memakan Ice Cream, perempuan itu sengaja tidak bilang kepada Abra. Karna malam tadi ia sangat benar-benar ingin makanan tersebut. Aisa rasa makanan itu sudah sangat lama tidak pernah mampir dimulutnya. Terbukti dengan Ice Cream itu yang habis hanya dalam beberapa menit.

"Sekarang kamu sarapan habis itu minum obat, badan kamu panas." Aisa kemudian berusaha duduk dibantu Lia, ia mengangguk lalu dengan pasrah menerima suapan Lia.

"Aku gak ikut ulangan Kimia." Lirih Aisa, teringat bahwa hari ini ia harus ikut ulangan Kimia tetapi malah terbaring sakit.

"Kan bisa nyusul sayang." Lia tersenyum, terpaksa membuat Aisa juga ikut tersenyum.

Kringgg!!!

Getaran Handphone diatas nakas itu membuat Aisa menoleh, Lia yang mengerti segera mengambil Handphone Aisa.

"Abra." Dengan cepat Aisa mengambil
Handphone dari Bundanya dan menerima panggilan tersebut.

"Halo?" Balas Aisa, semangat.

"Kamu udah bangun?" Suara berat yang terdengar khawatir itu membuat Aisa tersenyum.

"I'm fine."

"Aku pulang nanti kerumah, kamu gak usah mikirin ulangan Kimia."

Aisa membelalak, "Kok kamu tau?"

"Aku tau kamu Sasa." Mendengar itu pipi Aisa kembali bersemu merah.

"Siap Kapten!"

"Udah ya, kamu makan sama minum obat. Biar cepet pulih."

"Iya siap, cerewet."

"Pacar kamu juga."

Aisa terkekeh, "Iya ya? Pacar aku? Hehe..."

"Maaf." Tiba-tiba tawa Aisa terhenti, Aisa tau maksud maaf Abra itu apa.

"Ssst, udah ah. Gak usah dipikirin juga, sekarang kamu belajar. Semangat! Bye!" Tidak mau merasakan Abra semakin merasa bersalah, Aisa segera mematikan panggilannya. Kemudian menghela nafas.

Lia yang memperhatikan anaknya dari tadi itu menatap sendu ke arah Aisa.

"Kamu gamau ngasih tau Abra?" Pertanyaan Lia itu membuat Aisa menoleh.

AbrAisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang