23. Tetap Saudara.

31 3 0
                                    

...

"Abra."

"Kamu beneran marah?"

"Aku tau aku salah. Tapi sumpah aku beneran lupa buat ngabarin kamu. Sampe rumah aku kecapean terus tidur." Suara lemah Aisa itu tidak juga membuat Abra bergeming dari posisinya, laki-laki itu tetap menelungkupkan wajahnya dimeja.

Saat Abra menjemput Aisa tadi pagi, laki-laki itu terus saja diam dan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Aisa yang tau penyebabnya sedari tadi terus membujuk Abra agar berbicara padanya. Tetapi nihil.

Abra menegakkan tubuhnya, membuat mata Aisa berbinar. Laki-laki itu menoleh ke arah Aisa, tatapannya terlihat kecewa. Dan detik itu juga binaran dimata Aisa memudar.

"Aku nggak marah." Dan setelahnya Abra beranjak, Aisa yang ingin mengejar Abra itu entah kenapa merasakan dirinya tidak bisa mengejar laki-laki itu.

Aisa sadar ia salah. Ia kembali membuat Abra khawatir, rasanya Aisa sesak melihat wajah Abra yang benar-benar menahan emosi itu. Abra kecewa. Aisa menunduk, Abra pernah bilang kalau hal yang penting baginya dalam hubungan mereka adalah kabar. Abra juga menjelaskan, tidak semua kegiatan yang mereka lakukan harus dipantau 24 jam. Tapi setidaknya mereka saling mengabari keadaan masing-masing saat ingin berbuat hal yang benar-benar dikira penting atau sejenisnya.

Laki-laki itu memahami Aisa dan berusaha tidak mengekang.

"Abra kenapa?" Rega yang baru saja memasuki kelas itu langsung bertanya kepada Aisa karna saat bersisihan dengan Abra tadi, laki-laki itu mencuekinya.

Aisa mendongkak, "Gak papa." Balas Aisa tersenyum. Rega yang paham pun hanya memilih diam, ia tidak akan ikut campur.

Sedangkan Tana yang sedari tadi memeperhatikan 2 insan tersebut menghela nafas. Tana bisa melihat Abra begitu mencintai Aisa. Ketara sekali laki-laki itu benar-benar menelan emosinya agar tidak meledak dihadapan gadisnya. Padahal yang Tana tau dari Deo, Abra itu emosional.

Aisa beranjak keluar kelas, Tana yang melihat Aisa beranjak itu hanya bisa menatap punggung Aisa yang bergerak keluar. Aisa tau Abra pergi kemana.

Dan dugaan Aisa benar, Abra sedang berada di Rooftop. Laki-laki itu membelakanginya, sedang berdiri melihat gedung-gedung yang ada dihadapannya.

Abra merasakan ada yang mengenggam tangan kirinya hangat, tanpa menolehpun ia tau siapa pelakunya. Abra menghela nafas. Tatapannya sudah berubah menjadi tenang.

"Maaf." Ucap Aisa pelan, ia memandang wajah Abra yang tidak menoleh. Tapi sedetik kemudian, laki-laki itu menoleh.

Abra tersenyum tipis. Membuat Aisa ikut tersenyum. Kemudian tangan Abra bergerak mengenggam kedua tangan Aisa.

"Aku nggak marah sama kamu. Aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi dan menyakiti kamu Sa. Aku cuman kecewa sama diri aku sendiri. Aku kecewa nggak bisa menahan diri aku untuk melakukan hal seperti ini disaat kamu melakukan kesalahan yang sebenernya nggak besar. Buat kamu. Tapi Sa, kabar kamu buat aku adalah hal yang besar. Aku khawatir. Aku udah bilang aku nggak bisa ada didekat kamu 24 jam. Tapi aku nggak meminta kabar kamu selama setiap detik. Kamu ngerti?"

Aisa mengangguk. Matanya memanas.

"Don't cry, aku akan lebih kecewa sama diri aku waktu liat kamu nangis. Aku cuma pengen liat kamu nangis disaat kamu sedang bahagia. Bukan gini." Kemudian Abra membawa Aisa kedalam dekapannya. Memeluk hangat gadisnya. Aisa tersenyum. Hanya setitik air mata yang ia biarkan jatuh dari matanya.

Rasanya Aisa beruntung punya Abra dihidupnya, walaupun Abra pernah melakukan kesalahan. Tapi cinta Aisa kepada Abra tidak pernah berkurang. Dan Aisa benar-benar tidak ingin berpisah dengan Abra. Laki-laki itulah salah satu alasan yang menjadi penyemangatnya untuk terus betahan. Laki-laki itulah yang banyak memberi pelajaran kehidupan untuk Aisa. Dan laki-laki itulah yang juga menjadi salah satu alasan Aisa untuk melakukan cuci darah.

AbrAisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang