II - Dia

61 3 0
                                    


“Akhwat, ana sa akhruj, hal hunaka man tastaudi syai’an?”(akhwat, aku akan pergi keluar, mungkin ada yang mau titip sesuatu?). Tanyaku kepada teman-teman sekamarku. Didalam kamar kami ada 30 orang. Cukup banyak kan?

“Ila aina anti?” (kamu akan pergi kemana?) Tanya salah satu temanku

“la a’rif. Yumkn ila kulli makaan” (entahlah. Mungkin kesemua tempat) jawabku

“Toyyib. Hal yumkin ana astaudi’ ma aki? Idza sa tamuriina fii amama PA, istari lii kitab misla haza” (baik. apa saya bisa menitip sesuatu kepadamu? Jika kamu akan lewat didepan PA, belikan saya buku seperti ini) sambil mengangkat bukunya dan menunjukannya padaku

“oh na’am. Insya Allah. Ayu Syai’?”(oh iya insya Allah. Ada lagi?) tanyaku kembali

“la yuujad. Syukron senja. tamahhalii” (tidak ada. Terimakash senja. Hati-hati) kata salah satu temanku.

“na’am. Ana azhab. Assalamualaikum” (iya. Aku pergi. Assalamualaikum). Kataku langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari mereka.

Hari ini aku pergi bukan untuk sekedar jalan-jalan. Tapi ada sesuatu hal yang harus kucari diluar.  Aku pergi menggunakan motor yang ku pinjam dari temanku. Dan tempat yang pertama ku tuju adalah toko buku. Aku mencari buku titipan dari temanku, dan yap dapat. Sekarang aku tinggal mencari buku yang sedang aku cari. Dan itu lumayan sulit. Bahkan aku tidak menemukannya disini.

Aku mencari buku itu di toko-toko buku yang ada di Makassar. Dan ini toko buku ke empat yang ku datangi. Aku mencarinya, dan akhirnya aku mendapatkannya. Buku itu tinggal tersisa satu.

Aku baru mau mengambil buku itu, namun ada tangan lain yang lebih dulu mengambilnya.

“maaf mas, itu buku say…ya” aku terkejut bukan main. Kenapa diantara semua pertemuan, aku harus bertemunya disini dan kenapa harus sekarang?

“maaf mbak, selama sebelum terjadi transaksi jual beli antara sipenjual dan sipembeli, maka buku ini bebas” katanya sopan. Mungkin dia tidak menyadarinya.

Sedari tadi aku sibuk dengan debaran jantungku ini. Ini tidak biasa.

“iya, tapi saya yang lebih dulu menememukannya. Izan a’tini” (jadi berikan padaku) kataku keceplosan berbahasa arab. Aku masih tidak  memandang wajahnya langsung.

“La (tidak). Saya yang lebih dulu mengambilnya. Izan haza lii”(jadi ini milikku). Dia juga bisa ternyata. Aku tidak lagi membantahnya. Aku hanya menatapnya dengan tatapan marah. Setelah itu aku pergi meninggalkannya.

Aku tidak bisa lagi menahan debaran jantungku yang bahkan aku bisa mendengarnya sendiri. Ya Allah, dia tidak mengenaliku, dan semoga saja sampai selamanya. Aku keluar dari toko buku itu dengan perasaan marah. Ingin sekali aku menangis. Mungkin rezekiku bukan disini.

Saat aku menuju parkiran, aku melihat seorang nenek yang menjadi korban tabrak lari dari orang yang tak bertanggung jawab. Aku langsung berlari kesana. Dan dalam sesaat banyak orang yang berkumpul melihat kejadian tersebut. aku melihat kepalanya berdarah. Ya Allah ini gawat. Aku meminta tolong kepada mereka agar menelpon ambulance, namun tidak ada satupun dari mereka yang melakukannya. Ya Allah ingin sekali ku marah, namun aku berhusnuzon mungkin mereka tidak punya nomor amblancenya.

“bantu saya untuk bawa nenek ini kemobil saya” kata pemuda tadi yang kutemui di toko buku. Segera sebagian orang disitu membantu mengangkatnya ke mobilnya. Ya Allah kenapa diantara semua orang harus dia. Dia berbalik menghampiriku dan mengatakan

“dan kamu, ikut saya” apa lagi ini ?. baiklah aku mengikutinya karena memang ada orang yang harus ditolong. Aku duduk dibelakang bersama nenek ini. Aku berdoa dalam hati agar Allah menolongnya.

Saat sampai dirumah sakit, dia langsung menggendong nenek tersebut. aku dan dia menunggu nenek itu dalam permeriksaan dokter. Kami duduk didepan ruang UGD dalam diam. Apa yang harus kami lakukan, tidak mungkin kami bernostalgia. Dia saja tidak mengenaliku.

“Keluarga pasien?” Tanya dokter tersebut.

“kami bukan keluarga pasien. Tapi kami yang menolongnya” katanya.

“bagaimana keadaan nenek itu dok?” tanyaku khawatir

“pasien belum sadarkan diri setelah mangalami masa kritis tadi. Sekarang ini keadaanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Baiklah saya permisi” kata dokter tersebut.

Segera aku masuk kedalam ruangan untuk melihat keadaannya. Nenek itu belum sadarkan diri. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan. Sekarang sudah masuk waktu dzuhur. Sebaiknya aku keluar untuk menemuinya.

“saya akan pergi mushollah. Setelah itu kita gantian” katanya.

“baiklah” kataku. Setelah itu aku kembali lagi keruangan.
...
Dia Langit. Sahabat aku semasa kecil sampai kelas 2 SMA. Sampai saat Ini dia belum mengenaliku. Karena wajahku yang tertutupi oleh cadar.  Allah mempertemukan kita kembali. Dan saat ini, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Setiap bertemu dengannya, jantungku berdebar tak biasanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengejar Yang Tak Pernah Pergi (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang