Bertemu Mitzi

940 71 8
                                    

'Jadi sebenarnya, dia itu siapa?'

Ginting menepati janjinya. Sekarang weekend dan dia mengajak Alen untuk pergi keliling kota.

Ginting dan Alen sudah pergi ke berbagai tempat. Mulai ke BEC *Bandung Electronic Center*, PVJ *Paris van Java*, Ciwalk sampai sekarang mereka berhenti di sebuah restoran yang harganya murah dan mudah di jangkau.

"Ih, aku mau ke RTPD *Rumah The Panasdalam*, Gin. Pengin ketemu ayah Pidi Baiq." protes Alen saat dia tahu Ginting hendak memarkirkan motornya.

"Ayo, turun." Ajak Ginting. Namun, Alen mengeratkan pelukannya pada pemuda itu.

"Gak mau." Alen kalau lagi manja begini suka bikin gemas deh. "Ayo ke sana."

"Itu di daerah GOR Saparua. Jaraknya jauh dari sini, sayang." Mendengar ucapan Ginting yang melembut, Alen mulai melepaskan pelukannya. Dia kemudian turun dari motor Ginting, tak lupa dengan raut wajah yang ditekuk.

Masalahnya, Alen mengidolakan sosok Pidi Baiq. Ya meskipun tak seperti pada Bernard Batubara atau Fiersa Besari. Tapi ini kesempatan emas karena ayah Pidi sedang berada di RTPD.

"Jangan kesel gitu, dong. Jelek tuh mukanya." Alen tak peduli. Dia hanya ingin bertemu dengan ayah Pidi. Belajar dan ngobrol dengan bahasa Belanda yang baik dan benar. Juga foto bareng dengan pose ngupil menggunakan jari kelingking.

"Kapan-kapan kita ke sana. Aku yang anterin."

"Bener, ya?"

"Iya beneran. Udah ayo masuk." Ginting menggenggam tangan Alen dan mulai memasuki restoran.

"Janji loh, ya?" Ginting mengangguk meyakinkan.

Ginting membawa Alen ke meja nomor 12 paling pojok. Ya sudahlah tak apa, mending menikmati waktu berdua dengan Ginting. Itu sudah cukup, kok.

Keduanya kemudian duduk bersebelahan. Alen dan Ginting saling bertatapan.

"Gak romantis banget duduk sebelahan gini." protes Ginting.

"Aku males pindah. Kamu aja pindah sana."

"Gak mau."

"Ih, biar romantis."

"Eh? Ginting?" Pertengkaran Alen dan Ginting berhenti. Mereka berdua kemudian menoleh ke sumber suara.

Alen dan Ginting sangat terkejut. Ngapain manusia ini datang?

"Mitzi? Kok di sini?" Gadis itu mengangguk.

"Gue lagi jalan-jalan aja sih sendirian." Ginting hanya ber'oh' ria. "Gue boleh, gabung, kan?"

"Boleh, kok." Alen memilih diam. Dalam hati dia gereget kenapa Ginting memperbolehkan gadis ini untuk duduk di depan mereka, tapi di satu sisi dia juga tak enak jika harus mengusirnya.

"Udah pada pesan?"

"Belum." Mendengar itu Mitzi langsung melambaikan tangannya.

Alen tak terlalu memperhatikan, dia memilih untuk memainkan ponselnya. Dia mencoba menulikan indra pendengaran dan fokus hanya pada benda pipih yang digengamnya saja. Alen tak ingin kelepasan menunjukan rasa cemburunya.

Gadis ini membawa headset dia pasangkan ke telinganya. Tangan kirinya menyentuh ikon Youtube. Dia pengin nonton lirik video lagu terbaru dari Why Don't We. Belum sempat lagu terputar, Alen bisa merasakan Ginting menyentuh bahunya.

"Mau pesan apa?"

"Terserah. Samain aja kayak kamu." Alen kembali fokus pada ponsel. Dia tahu Ginting akan marah. Biar sajalah yang penting Alen tidak cemburu.

Senyum Alen terangkat ketika melihat wajah Daniel Seavey. Nah, kan, melihat yang bening begini memang bisa mengubah mood Alen balik lagi.

Dia sudah bersiap untuk jingkrak dan teriak. Namun, Alen sadar dirinya sedang berada di mana. Aduh, fangirling Alen sedang kumat nih.

Tanpa Alen ketahui, sedari tadi Ginting dan Mitzi memperhatikan. Ginting sudah biasa dengan kelakuan Alen yang mendadak aneh begini. Sedangkan Mitzi merasa heran kenapa dia begitu.

"Gin, dia siapa?" Ginting menoleh ke arah Mitzi.

"Namanya Alen." sahut Ginting. Mitzi mengangguk mengerti. "Mau kenalan?"

"Boleh." Ginting melucuti headset kanan Alen. Membuat gadis itu menatap ke arahnya horor.

"Kamu apaan sih?"

"Ada yang mau kenalan." Dahi Alen mengerut.

"Siapa?"

"Gue." Alen menatap Mitzi yang bersuara. Moodnya kembali hancur, bisa gak sih dia itu gak mengganggu? "Gue Mitzi, temen SMA Ginting." katanya ramah sembari mengulurkan tangan.

"Gue udah tau nama lo. By the way, gue Alen. Pacar-"

"Ini pesanannya, Mas." Hih menganggu saja. Alen belum selesai bicara.

Alen dan Mitzi dengan kompak membereskan makanan mereka. Ginting yang melihat itu menaikkan senyumnya.

"Selamat menikmati." Dua pelayan yang membawakan pesanan pamit. Meninggalkan Alen, Ginting dan Mitzi dalam keheningan.

Masa bodoh, Alen mau menyantap makanan ini saja.

"Oh, iya. Besok lo mau anterin gue ke festival bakso aci gak?" Alen hanya mendengarkan.

"Besok?"

"Iya. Kapan lagi ada festival begitu, kan? Lumayan tau."

"Kayaknya gak bisa deh." Hoho, bagus Ginting. "Soalnya besok gue ada PPL."

"Kalo malemnya bisa, gak?"

"Err, gue usahain deh."

Apa? Ginting? Yang benar saja! Ampun, dia menyanggupi ajakan gadis lain di depan pacarnya sendiri. Dia ini bagaimana sih? Apa mungkin lupa kalau Alen duduk tepat di sampingnya?

Alen berdehem. Mencoba menyadarkan Ginting kalau raganya masih ada di samping lelaki itu.

"Lo kalo mau ikut boleh kok."

"Gak usah. Gue ada urusan yang lebih penting dari jajan bakso aci."

"Apa?"

"Mitzi orangnya kepoan, ya?"

"Haha, kalo gak kepo sesat di jalan."

Alen memutar bola mata jengah. Dia sesat di jalan. Alen? Sesat diperasaan cemburunya.

'Dia ini siapa sih? Rasanya gue pengin deh marah-marahin dia. Tapi dia gak punya salah apa-apa sama gue. Ah, anjir, sialan emang.'

~~~

Mine (Anthony Ginting)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang