DISTORSI

94 9 1
                                    

"Ayah aku pengen main dong!" teriak seorang anak perempuan berumur sekitar 6 tahun dari halaman rumah.

"Iya, hati-hati ya, Ayah mau masak dulu buat nanti kita makan"

"Siap Ayah!" jawab anak itu sambil berlari kearah teman-temannya.

Memang bukan sebuah keanehan melihat seorang ayah memasak di keluarga ini. Bukan ibu tidak mau memasak, tapi...

*************

"Saya sarankan untuk tidak dilanjutkan Bu, ini sangat berisiko bagi Ibu." ujar seorang dokter.

Ruangan yang sebenarnya biasa saja itu, mendadak gelap dalam pikirannya. Ia tak tahu harus berbuat apa, karena baginya seseorang yang sedang dikandung sangatlah berharga.

"Tak.. ap.a Dok yang penting a..nak saya selamat." ucap wanita itu dengan terbata-bata.

"Tapi Din.." seorang lelaki yang akan segera menjadi ayah ini menyela perkataannya.

Anggukan dari istrinya tak mungkin bisa ia tolak. Bagaimana pun nantinya, itu sudah memenuhi segala keinginannya.

Dalam pikiran Andi yang berkecamuk, seketika jagat rayanya terhenti sesaat. Waktu terasa melambat, nafas seketika memberat. Nyatanya takdir mendahului firasat.

Nittt.............

Mengapa harus sesingkat ini.

Putrinya baru saja lahir. Namun istrinya baru saja pergi menyertai guratan takdir.

"Nak, kamu harus jadi perempuan yang kuat seperti Ibumu ya! Kamu Ayah beri nama Brigitta Valeria." ucap ayahnya sambil menahan tangisnya.

***********

"Wah, makanan buatan Ayah memang paling enak!"

Memang makanan buatan ayahnya sangatlah enak. Bagaimana tidak, ia sudah terbiasa memasak semenjak dirinya menjadi Tentara Nasional Indonesia. Ditambah lagi setelah ditinggal oleh istrinya, ia semakin terlatih untuk memasak. Memang tangannya terlalu kekar untuk memegang wajan dan spatula. Tetapi makanannya, tak pernah ada duanya bagi Gitta. Andi adalah sosok ayah terbaik dengan segala kasih sayangnya.

Namun dibalik itu, ada tanggung jawab lain yang Andi emban. Tidak jarang Andi menitipkan Gitta kepada kakek dan neneknya saat panggilan negara datang. Gitta seperti sudah biasa ditinggal ayahnya selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Gitta memang harus kuat. Kuat menghadapi kenyataan tentang ibunya. Kuat menghadapi kenyataan ayahnya yang selalu pergi.

Dan itu terjadi lagi di umur Gitta yang hampir menginjak sepuluh tahun.

"Nak, sepertinya Ayah mau pergi lagi." kata ayahnya dengan ragu.

"Ayah masih sama saja seperti dulu! Terakhir Ayah bilang kan, Ayah gak akan pergi lagi!" kata anak itu sambil berlari ke arah kamarnya.

"Bukan seperti itu Nak.."

BRAK..

Kata-kata ayahnya terputus oleh suara pintu yang dibanting oleh Gitta.

"Ayah tidak bisa menolak ini Gitta, Ayah harus pergi untuk menjaga orang lain di negara sana." kata ayahnya dari luar pintu dengan pelan.

"Jadi Ayah pergi buat menjaga orang lain? Terus kenapa Ayah lebih memilih menjaga orang lain?! Ayah udah gak sayang kan sama aku?!" ucap Gitta sambil menangis menjadi-jadi.

"Bukannya Ayah gak sayang Nak, kamu harus coba mengerti. Ayah sayang sama kamu." Kata ayahnya menahan tangis.

"Kakek nanti ke sini buat jaga kamu selagi Ayah pergi. Jaga diri baik-baik ya!" sambung ayahnya sambil pergi meninggalkan Gitta.

DistorsiWhere stories live. Discover now