01. Pusing
Sebenarnya ada banyak hal yang membuat Gauri malas menghadiri acara kumpul-kumpul keluarga, apalagi keluarga dari pihak ibunya. Kebanyakan dari mereka selalu merasa berhak ikut campur dalam kehidupan pribadinya, sering bertanya ini dan itu yang terkesan memojokkan. Sibuk bertanya kapan ia akan menikah, atau kapan ia akan membawa laki-laki mapan untuk melamar ke rumah. Sampai dibanding-bandingkan dengan anak perempuan mereka yang katanya lebih wow dalam segala aspek kehidupan.
Padahal, Gauri dan ibunya tidak pernah mengusik hidup mereka sampai seperti itu. Tetapi, status single-nya Gauri seolah-olah membuat mereka semua merasa gerah, sehingga mereka ikut campur dalam hal menjodoh-jodohkan Gauri dengan anak kenalan mereka semua. Dan Gauri merasa malu karena kesannya seperti ia yang tidak laku, sehingga dirinya perlu diobral sana-sini oleh tante-tantenya agar mendapatkan pasangan dan segera menikah.
Memangnya, kalau ia sudah menikah, mereka akan berhenti bertanya? Tentu saja tidak. Karena setelah menikah, mereka semua pasti akan rempong untuk bertanya ‘kapan punya anak?’. Lalu saat sudah punya anak, mereka pasti akan bertanya lagi dan lagi. Seolah-olah tiada henti.
"Ri, kamu masih belum punya pacar juga?"
Gauri sudah menduga kalau pertanyaan itu pasti akan terlontar dari salah satu tantenya begitu mereka semua sedang membahas tentang Alina yang sebentar lagi akan dilamar secara resmi oleh pacarnya.
Karena pertanyaan mengesalkan barusan, semua mata yang ada di sana jadi menatap ke arah Gauri dengan penuh perhatian. Sebenarnya Gauri ingin sekali memutar bola matanya sekarang juga, karena apa pun yang sedang dibahas, pasti akan ada pertanyaan yang menyerempet pada statusnya yang belum juga berubah.
Makanya Gauri merasa muak pada acara kumpul-kumpul yang diadakan rutin oleh saudara dan saudari ibunya. Jadi, jangan salahkan Gauri kalau ia tidak menyukai keluarga ibunya yang terlalu ikut campur itu, lebih baik ia berada di tengah-tengah keluarga besar ayahnya. Karena di sana, Gauri selalu diperlakukan dengan sangat istimewa.
"Gauri lagi sibuk sama usaha cafe-nya, Mbak." Yashinta tersenyum tipis saat memberikan jawaban barusan. Dalam hati ia berharap semoga saja tidak ada lagi yang memperpanjang hal ini, karena ia tahu kalau putri semata wayangnya tidak akan nyaman berada di sana untuk lebih lama lagi.
"Oalah, kamu jangan terlalu sibuk, Nak." Kali ini ibunya Alina yang berbicara sembari merangkul lengan Gauri yang duduk di sampingnya. "Pikirkanlah soal pasangan dari sekarang."
"Iya. Lagi pula ... di keluarga kita, semua perempuan wajib berhenti bekerja kalau sudah berumah tangga." Kakak perempuan tertua Yashinta yang baru saja muncul dari arah dapur, akhirnya ikut buka suara.
"Tapi di keluarga Papa, semuanya bebas bekerja meski sudah menikah." Gauri yang sedari tadi hanya diam dan menyimak pembicaraan tentang dirinya, akhirnya menyahut juga. Tetapi, dengan suara tegas.
Yashinta langsung memasang wajah tidak enak pada semua kakak perempuannya juga iparnya yang ada di sana. Yashinta adalah anak bungsu dari 6 bersaudara. Hanya kakak kedua dan ketiganya saja yang berjenis kelamin laki-laki, sisanya perempuan semua.
Gauri tampak cuek dengan berbagai macam tatapan yang dilayangkan untuknya. Alina yang duduk di samping kirinya lantas berbisik pelan, "Lo beneran cari masalah, tapi bagus sih, artinya lo akan jadi anak perempuan pertama yang mendobrak tradisi gak masuk akal di keluarganya Nyokap."
Gauri terkekeh pelan begitu mendengar kata ‘tradisi tak masuk akal’ yang diucapkan oleh Alina barusan.
Namun, perempuan itu benar. ‘Tradisi’ itu memang tidak masuk akal, sehingga Gauri pun enggan untuk mengikutinya.
***
Skyward Cafe adalah sebuah cafe yang sudah berdiri sejak dua setengah tahun yang lalu. Tepatnya saat Gauri tidak memiliki pekerjaan tetap, dan malas memasukkan lamaran, karena belum tentu akan diterima. Lebih-lebih lagi ia malas mengikuti sesi interview, Gauri paling benci dengan hal yang satu itu.
Sehingga Gauri memutuskan untuk membuka cafe dengan menggunakan salah satu properti yang diwariskan oleh kakek dari pihak ayahnya. Ia merombak bangunan berlantai dua itu dengan uang yang ia tabung sedari zaman SMA. Meski begitu, ia tetap mendapatkan bantuan uang dari ayahnya, dan Gauri sama sekali tidak menolak.
Awalnya Gauri hanya memiliki dua orang pegawai, dua-duanya adalah junior Gauri di kampus dulu. Salah satunya sebagai barista di cafe itu.
Saat masih awal-awal, cafe itu hanya beroperasi di lantai bawah saja. Tetapi, saat cafe itu sudah berjalan sekitar satu tahunan, Gauri memutuskan untuk memakai lantai atas juga.
Gauri cukup sering meminum kopi dan mahir dalam membuat bolu serta kue. Makanya ia memutuskan untuk membuat usaha ini, dan kerja kerasnya itu sudah membuahkan hasil. Lihatlah suasana cafe yang ramai siang ini. Bahkan sekarang ia sudah memiliki delapan pegawai yang membantunya di cafe. Dua orang sebagai barista yang bekerja secara bergilir, dua orang yang bekerja khusus di dapur, dan empat orang yang bertugas mengantarkan pesanan.
"Mbak, ada Mbak Raya di depan."
Gauri yang sedang menghias cupcake, langsung mengalihkan perhatiannya pada salah satu pegawai yang membawa nampan dari arah depan.
Setelah mengalihkan pekerjaannya pada pegawai yang betugas di dapur, Gauri pun bergegas menemui Raya yang ternyata sedang duduk di atas kursi tinggi yang tersedia di depan meja bar.
"Tumben bisa mampir ke sini pas jam makan siang," tegur Gauri sembari membenarkan lipatan lengan kemejanya yang nyaris terlepas.
"Lagi pusing banget gue, jadi izin pulang duluan deh." Raya kembali menyeruput es kopinya setelah menyahuti ucapan Gauri barusan.
Gauri lantas terkekeh pelan. "Ada masalah apa lagi lo sama Fariz?"
Entah sudah ke berapa kalinya Raya izin pulang cepat dalam beberapa minggu terakhir, karena terus dipusingkan dengan berbagai persiapan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi.
Raya tampak mengibaskan tangannya di udara. "Berat badan gue naik, Ri. Makanya gue pusing, gimana pas hari-H nanti kalau gaun resepsi gue yang pas badan itu jadi gak muat?”
"Coba lo bayangin," sambung Raya sembari menyerongkan posisi tubuhnya ke arah Gauri dengan wajah kusutnya.
Gauri menghela napas. "Itu semua masih bisa diatasi, lo cuma perlu diet. Kan masih ada waktu dua minggu lagi. Lah, gue? Nanti pas acara nikahan lo, gue mesti ngajak siapa coba sebagai pasangan?"
"Bukan cuma pengantin yang pusing mikirin acara nikahannya, gue yang diundang juga ikutan pusing, Ray." Gauri mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Sedangkan Raya hanya melongo saja, karena ia jadi tambah pusing setelah mendengarkan keluhan sahabatnya yang selalu saja sama kalau dia sedang mendapatkan undangan pernikahan.
Sesaat kemudian, Raya tampak menjentikkan jarinya, seolah mendapatkan ide cemerlang setelah memperhatikan Dito yang sibuk melayani pesanan di balik meja bar.
"Kenapa lo gak ajak Dito aja ke nikahan gue nanti, Ri?! Mukanya lumayan juga nih!”
Hal itu kontan saja membuat Gauri menyemburkan strawberry milkshake yang sedang diminumnya, lalu menatap Raya dengan pandangan horor yang sangat kentara.
Kayaknya Raya mulai gila.
*****
8 November 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Love From The Past
ChickLitKarena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan kencan buta. Tanpa diduga, Gauri malah bertemu dengan seseorang yang pernah mematahkan hatinya di masa...