01 - WORST

164 9 18
                                    

Sudah pukul tujuh kurang dua menit namun Aksa baru saja datang untuk sarapan, ia menilik sang ayah yang hanya bergeming melihat wajah datar juga lagak santai Aksa. Tak ada percakapan hangat diantara Aksa dan sang ayah, keduanya sibuk mengadu piring dan sendok hingga suapan terakhir.

"Apa kau masih sering bermain skateboard?" tanya sang ayah ditengah keheningan.

Aksa menatapnya sebentar, kemudian menggeleng ragu. Telah menjadi kebiasaan Aksa untuk berbohong tentang sesuatu yang ia geluti, pasalnya sang ayah memang lebih sering tak searah dengannya dan berakhir dengan debat tak berujung.

Sang ayah menatap Aksa tajam kemudian mengambil napas panjang, "dalam tiga bulan terakhir sudah lebih dari empat surat pelanggaran yang datang, dan kau tetap berlaku santai? Setidaknya berubahlah walau sedikit," katanya.

Aksa hanya mengangguk yang kemudian dibalas dengan gelengan dari sang ayah, keheningan kembali menyelimuti ruangan tersebut, keduanya sama malasnya untuk berkeluh kesah satu sama lain. Beberapa saat pun berlalu, Aksa beranjak untuk pergi ke sekolah dan tak lupa untuk mengambil skateboard yang ia simpan rapat-rapat disalah satu lorong menuju garasi lamanya. Ia memainkan skateboard setelah ia menjauh dari kawasan rumahnya, dengan lihai ia melakukan trik mudah yang banyak dilakukan oleh pemain skateboard lainnya dan kemudian ia kembali menenteng skateboard saat ia nyaris sampai di depan gerbang sekolah.

"Satu menit lebih cepat dari kemarin, sepertinya kau sudah lebih lihai mengendalikan kendaraanmu?" goda pak satpam saat Aksa memintanya untuk membuka gerbang sekolah.

Aksa tak bergeming dengan godaan pak satpam yang hampir setiap pagi menghitung berapa jarak waktu Aksa datang dari hari ke hari, walau begitu pak satpam adalah satu-satunya dari sekian yang sudi mengajak Aksa berbicara walau jelas Aksa lebih banyak tak mengerti. Pernah satu kali pak satpam mengajak Aksa berbicara dengan aksen dan bahasa yang tak pernah Aksa tahu, hasilnya pak satpam gemas dan Aksa pun heran.

Aksa melangkahkan kakinya menuju kelas yang berada dilantai dua dibagian timur tangga, ia membuka pintu kelas dengan santai dan tangan kirinya menenteng skateboard. Aksa bisa mendengar kilas penjelasan dari pengajar yang berada di dalam kelas sebelum akhirnya seorang pengajar menoleh dan netranya saling bertemu.

"Aksara Samudra!" pekik seorang pengajar dan kemudian menggelengkan kepala.

"Pukul berapa ini?!" tanya pengajar itu sambil berseru.

"Apa kau tak tahu pelajaran sudah dimulai sejak dua puluh menit yang lalu? Apa kau tak tahu kau salah karena kau terlambat?" ucap perngajar itu kembali bertanya.

"Maaf," ucap Aksa singkat.

"Satu dua kali saya maafkan, tiga kali saya peringatkan, empat kali saya beri hukuman, lima kali saya turunkan surat peringatan, dan kamu? Sudah kali berapa ini? Bosan saya terus mengingatkan hal yang sama," seru wanita itu dengan nada tinggi yang membuat Aksa semakin mendatarkan wajahnya.

"Duduklah, tak ada gunanya saya berceloteh panjang," ucap wanita itu mempersilakan Aksa untuk duduk.

Aksa melangkahkan kaki dan duduk dikursi barisan paling belakang, tempat dimana ia selalu berada. Pengajar itu kembali menjelaskan dengan tenang dan seluruh perhatian pun terfokus pada pengajar yang sedang menjelaskan materi fisika yang amat memusingkan itu. Aksa tak terlalu memperhatikan namun tangannya terus mencatat hal-hal yang ia temukan selama perjalanan ke sekolah, sesekali ia juga menggambar kemudian meremas hasil coretannya dan kembali terfokus pada materi yang dijelaskan.

Pelajaran berlalu dengan cepat berganti dengan jam istirahat, ruang kelas yang penuh berangsur sepi dan meninggalkan Aksa seorang. Tak ada yang berani tinggal di kelas karena peraturan mengatakan bahwa siapapun yang berdiam dalam kelas selama jam istirahat maka ia akan terkena poin pelanggaran, tentu semua patuh kecuali Aksa. Karena untuknya peraturan tersebut sangat konyol, karena tak semua orang bisa menghabiskan waktu dikeramaian dan tak semua orang pula senang untuk berinteraksi dengan sesama.

Didalam kelas Aksa hanya berkutat dengan pena, tangannya menari diatas kertas dan kemudian ia kembali meremas kertas coretannya. Aksa memang menyukai dunia kepenulisan, sejak kecil ia bahkan tak asing dengan tulis menulis karena sang ibu adalah seorang penulis hebat yang karyanya tersebar diseluruh penjuru kota bahkan ada beberapa buku yang berhasil menjadi buku terbaik sepanjang masa.

---

"Hei kau, pinjam catatan biologimu," seru seorang lelaki pada Aksa dari seberang mejanya.

Aksa tak menoleh sedikit pun, ia masih saja berkutat dengan apa yang ia kerjakan sejak jam istirahat tadi.

Lelaki itu menyambar buku biologi yang ada diatas meja Aksa, "dua telingamu itu tak ada gunanya," ucap lelaki bertubuh jakung dengan suara beratnya.

Beberapa teman lelaki itu justru tertawa mendengar ucapan temannya, seolah mereka memang menanti ucapan yang tak seharusnya itu. Aksa hanya diam tak peduli, untuknya mengambil pusing tingkah orang-orang yang demikian adalah kesalahan terbesar yang harus dihindari selama hidupnya. Bahkan jika Aksa menerima belas kasihan pun Aksa tak akan pernah ambil pusing, untuknya menerima belas kasihan pun adalah kesalahan.

-
tbc.
-

23.39

MATI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang