coretan kisah

15 2 0
                                    

Terbangun dari tidur lelap, aku menatap langit yang penuh dengan bintang lewat kaca jendela kamar. Kubasahi mukaku dengan wudhu, bersujud di atas sajadah tua milik amak yang diberikan padaku. Diseperempat malam ini, aku meminta akan satu hal, hal yang selalu ku sebutkan disetiap doa.
Kutarik ulang selimut tebalku, entah mengapa Jakarta sangat dingin malam ini. Tak lama hujan turun menemani malam. Hawa dingin yang masuk lewat celah-celah kecil jendela kamar begitu menusuk tulang. Tanganku bergemetar hebat, kuambil beberapa kain untuk menutup lubang-lubang kecil yang membawa angin rindu itu. Hujan semakin deras, malam semakin larut, namun mata tak mampu lagi untuk terpejam, asik dengan dunia ku. Berkhayal, lalu kutulis pada secarik kertas kosong yang selalu kuletakkan di meja kecil dekat tempat tidur. Tak lupa dengan pena kesayanganku, ia senantiasa menari-nari riang diatas kertas halus dengan mencurahkan isi hati. Kulirik lagi jendela itu, masih sama dengan lima tahun yang lalu, dimana sebuah cerita dimulai, disaat hujan turun ketika langit penuh dengan bintang.
^^^
Hening, hanya ada suara lembaran kertas yang di bolak balik dan dentingan jarum jam yang tergantung manis di dinding paling atas dengan ukuran yang lumayan besar, saat ini perpustakaan kota sangat ramai dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa semester akhir yang sedang membuat skripsi mereka. Teringat dengan kejadianku satu tahun yang lalu, saat sedang membuat sebuah proposal skripsi di tengah badai salju. Saat  itu  salju baru saja turun di pertengahan bulan desember, cuaca kota Berlin sangat dingin, hingga aku rasa aku akan mati membeku jika tidak  memakai mantel tebal usangku kala itu. Hari semakin siang, matahari tak kunjung menampakkan dirinya, awan-awan mendung seakan tak bisa lagi menampung air mata mereka. Aku berhenti disebuah halte bus, berniat untuk kembali ke apartemen milik Ridwan, sahabat karibku saat di Jerman, hinnga saat ini kami menjadi sangat dekat, layaknya saudara. Namun seseorang tiba-tiba  menarikku kedalam taksi. Aku berniat menjerit meminta tolong, tapi sial, yang menarikku bak penculik itu Ridwan, ia memang hobi melakukan hal seperti ini padaku.
“ sudah kau temukan?” tanyanya dengan sunggingan senyuman puas telah berhasil mengerjaiku
“ belum. lalu, apa misimu menculikku?” kesalku padanya, ia tertawa penuh arti
“ menculikmu? Apa untungku menculikmu Alfi?” katanya mengejek, jika saja dia bukan temanku, mungkin sudah kuhabisi dia. Kualihkan pandangan ku ke luar, melihat betapa padatnya kota Jakarta, entah mengapa aku merindukan sebuah kota tua di Jerman. Heidelberg, tempat aku tinggal selama empat tahun disana untuk menyelesaikan studiku, kota itu sangat hangat dan menyenangkan. Walaupun sulit hidup di negara minoritas, mencari masjid disana tak semudah mencari masjid di Indonesia.  Pandanganku menerawang, memikirkan seseorang yang tak ku ketahui siapa dia, hingga aku tak sadar jika kami sudah sampai di sebuah gang sempit, yang motorpun tak bisa masuk ke sana. Ku tatap Ridwan bingung dan penuh arti.
“ aku takkan menyekapmu disini, tenanglah” katanya menjawab tatapan tajamku yang mungkin sudah seperti pisau.
Ia turun dari taksi dan membayar tagihan, aku hanya mengikutnya saja, mengikutinya masuk ke gang sempit itu. Ponselku berdering, menghentikan langkah kami, kuambil ponsel di saku kiri celana kain yang sudah 2 tahun tak terganti itu, kulihat siapa yang menelpon, dan kemudian kumasukkan lagi ke saku celana. Ridwan menatapku aneh :  siapa? Mengapa tidak menjawabnya?. Mungkin itulah arti dari tatapnnya itu. Aku hanya tersenyum dan menjawab
“ Jemes, kau ingat? Pria jakung yang sering mencariku saat ia mabuk, ia menelpon, mungkin ia putus lagi dengan pacarnya” kataku, ia menyerngitkan alis, kutahu ia pasti tak paham.
“ semacam konseling cinta maksud mu?” tanyanya, aku tertawa mendengar ucapannya tadi
“ mungkin begitu” kataku sebisa mungkin menahan tawa, ia menampakkan wajah kesalnya sepanjang perjalanan hingga kami sampai disebuah rumah besar dan mewah.
“ kau akan menulis artikel terkait koruptor lagi?” tanyaku, ia hanya menunjukkan ekspresi malas untuk menjawab pertanyaanku
“ tidak, ini ruma pak de yang kuceritakan padamu, anaknya sangat menggemarimu, hampir semua karya tulis dan novel-novelmu di museum kan olehnya” jelas Ridwan, aku bergidik ngeri mendengar penjelasannya. Kami memasuki rumah besar nan mewah itu, disambut dengan hangat dan sopan, tak seperti orang kolomrat kebanyakan. Kami disungguhi oleh jamuan makan siang yang sangat mewah. Menu makanan lengkap dengan cemilan dan buah-buahana, bukan main baiknya. Pak de Ridwan juga menceritakan banyak hal tentangnya dan perjalanan karir nya, hingga kurasa aku sangat ingin untuk membuatkannya sebuah buku yang mengisahkan hidup yang seperti drama itu.
^^^
Lima tahun yang lalu, saat dimana aku mendapatkan kabar jika aku lulus tes masuk perguruan tinggi Jerman dengan Beasiswa. Senangnya bukan main, ini seperti mimpi, aku yang hanya anak dari seorang ayah petani dan ibuku yang hanya buruh pemetik biji kopi. Anak Aceh yang tinggal di pelosok desa bisa bersaing dengan anak-anak kota yang selalu dibarengi dengan kegiatan les dan hal-hal lainnya. Bagiku ini luar biasa, Tuhan menggenggam mimpiku, tak sia-sia perjuanganku selama ini. Dan disinilah hal tersulit yang harus ku lalui, berpamitan dengan orang tua, meninggalkan mereka untuk waktu yang cukup lama. Namun, demi mereka ku kuatkan langkahku untuk belajar dan menggali ilmu sebanyak yang aku bisa. Perjalanan yang lama membuatku bosan terus-terusan didalam pesawat tanpa aktifitas, aku mengambil sebuah notebook yang selalu setia berada di tas selempang yang selalu kupakai. Ku tulis beberapa tujuanku. Tujuan hidup yang akan kutempuh di Negeri Hilter itu.
Hari berjalan dengan normal, hanya saja aku rindu mendengar suara adzan pak Zakariya dikampung, suaranya sangat merdu, hingga membuat orang terhipnotis untuk datang kesebuah Meunasah yang ada disana. Disini, jarang sekali bahkan hampir tak pernah kudengan suara adzan. Seseorang mengetuk pintu kamar apartemenku dengan lembut, kuusaikan dzikirku. Kubukakan pintu untuknya, ia menyengir kuda, aku menatapnya bingung.
“ bolehkah aku masuk? Diluar sangat dingin” katanya, kupersilahkan ia masuk, ia duduk disebuah kursi yang terletak dekat jendela, biasanya itu tempat favorit ku untuk membaca, kusungguhi ia dengan secangkir kopi hangat.
“ wah..rasanya spektakuler, dimana kau beli kopi ini?” kagumnya, aku hanya tersenyum, teringat pemberian amak saat aku akan berangkat.
“ itu kopi dari Aceh, tak ada di sini. Ini khusus buatan amak ku sendiri” jelasku, ia mengangguk-nganggguk paham
“ohya, perkenalkan aku Ikhwal Ridwan, aku mahasiswa baru di universitas heidelberg, aku teman sekamarmu, karna kamar untuk satu orang  sudah penuh jadi aku pilih-pilih untuk mencari teman sekamar, kebetulan kutemukan teman dari Indonesia, siapa namamu?” jelasnya panjang lebar
“ namaku Alfi, senang bisa mendapatkan teman sekamar sepertimu, kau bisa menaruh barang-barangmu disana, kebetulan aku juga mahasiswa baru disini” kataku padanya, ia hanya ber “oh” ria saja. Lalu kutunjukkan kamarnya yang hanya sebelahan dengan kamarku. Apartemen kami tidak besar, hanya terdapat dua kamar tidur yang ukurannya pas-pasan, kamar mandi dan dapur saja. Kami menjalani hari seperti normalnya orang Jerman, aku dan Ridwan kadang suka traveling ria ke kota-kota yang ada di sana, inilah awal kedekatan persahabatan kami dimulai.
Sudah hampir tahun ke tiga, tepatnya pada awal musim gugur. Aku berjalan di trotoar yang dipenuhi dedaunan yang tak henti-henti jatuh dari pohon-pohon besar pinggir jalan. Libur semester sangatlah panjang, bisa sampai dua atau tiga bulanan, karna jika pulang akan menghabiskan banyak uang, aku memilih tidak pulang dan bekerja disebuh Coffee Shop yang letaknya tak begitu jauh dari tempatku tinggal. Kulirik arloji yang melingkar manis ditangan kiriku ’ sepertinya aku akan terlambat lagi’ gumamku dalam hati, karna Ridwan sedang di Berlin, aku agak kerepotan mengurus apartemen jika pagi, belum lagi kegiatan rutinku seperti menyuci pakaian dan pekerjaan rumah lainnya, biasa jika kami mengerjakan bersama itu hanya perkerjaan yang ringan, ku tarik pintu kaca tempatku bekerja, kulihat Thomas sedang asik membuat Americano dan green tea mereka berdua adalah minuman favorit kedai kami. Aku segera keruang ganti dan menggati pakaianku, barang-barangku kusimpan di loker kecuali ponsel yang ku simpan di kantong depan celemek yang kupakai. Kulangkahkan kakiku menuju meja tempat Thomas membuat minuman itu.
“ you’re so late today” sapanya tak seramah biasa
“ sorry, I will not repeat it” kataku
“ put this on the table number 8” katanya sambil menyondorkan 2 gelas Coffe late, aku hanya mengangguk dan kuantar minuman itu denagan nampan. Hari ini tak seramai biasanya, mungkin dikarenakan cuaca yang begitu labil. matahari mulai terbenam, selesai membantu thomas dan yang lainnya berberes aku memilih untuk langsung pulang ke apartemen. Saat sedang asik duduk di halte bus untuk mengistirahatkan kaki yang lelah, pandanganku terpaku pada seorang wanita yang menurutku begitu catik. Dengan parasnya, wanita yang berperawakan tinggi dan putih kulitnya. Ia memakai hijab yang sangat simpel namun memberi kesan yang mendalam disana, dipadu dengan sweater dan rok kembang yang manis, ia sangat mencolok saat berdiri diantara wanita-wanita yang berpakain serba mini itu. Aku berniat ingin menyapanya, namun kuurungkan, toh ia terlanjur naik keldalam bus. Dengan berat kulangkahkan kaki ini pulang. Rasanya remuk sekali badanku, terlebih lagi perut yang keroncongan minta diisi dari tadi siang. ‘yaampun, aku bahkan lupa untuk makan hingga saat ini’ gerutuku kesal, berniat untuk membelikan sesuatu, namun saat kurogoh semua saku celana tak kutemukan dompet usangku disana, aku menghela nafas berat, pulang dengan perut yang lapar dan tubuh yang remuk, aku asik mengerutu sepanjang perjalanan hingga tak terasa aku sudah sampai didepan pintu apartemen, tanpa basa basi melihat pintu, aku bergegas masuk kedalam, ingin sekali memasakkan sesuatu. Namun, saat didalam kulihat Ridwan yang tengan asik menyusun buku-buku yang kuyakini baru saja ia beli di Berlin dan beberapa makanan yang menggiurkan mata dan perut.
“sudah pulang? Lama sekali?” ucapnya tanpa memandang
“ aku datang terlambat, maka pulang juga akan terlambat” ucapku menghempaskan tubuhku berbaring dilantai
“ makanlah, aku membelikan makanan tadi, kulihat dompetmu ketinggalan, dengan baik hati aku membelikan makanan untukmu” bangganya, senyumku mengembang langsung saja kusambar makanan itu
“terimakasih, kau memang pengertian. Ayo kita makan” ajakku sambil menyuapkan suapan pertama kemulut yang sudah sangat rindu akan makanan yang masuk. Ia mengalihkan pandangannya dan pindah ke meja makan meninggalkan susunan buku-buku tebalnya. Prosesi makan malam berjalan dengan khidmat dan tentram.
Dan begitulah hari-hariku seterusnya,hingga akhir dari perjalanan ku di Jerman berakhir. Hari ini adalah hari yang paling ku nanti-nanti setelah empat tahun. Sidang skripsi. Dimana kelulusanku ditentukan saat ini, aku mulai menjelaskan apa yang kutulis di skripsiku, dan sedikit berargumentasi. Sekarang aku akan dibantai habis-habisan oleh Dosen-dosen tinggi di Universitas ini, aku menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan dan pernyataan dari mereka. Dan kurasa keberuntungan lagi-lagi memihakku saat ini, dengan mudahnya mereka mengatakan
“ kamu lulus! Selamat! Pintu keluar sebelah sana” kata salah seorang dari mereka, seperti telah bosan melihatku, aku segera keluar dengan senyuman yang terus terukir di bibirku. Aku bergegas pulang, mungkin Ridwan sudah menunggu ku, kelulusan dia sudah dari satu minggu yang lalu, ia lebih dulu dariku, namun itu tak masalah. Kulihat kotak surat dekat pintu apartemen sangat banyak, kuambil semuanya dan kubawa masuk kedalam. Aku mendapati sahabatku yang sedang berkemas barang-barangnya, memang kami berancana pulang minggu depan karena ada inteviw kerja di Jakarta.
Benar, tak ada yang bisa dilupakan dari kota tua di Jerman, Heidelberg, banyak kenangn yang telah ku ukir selama empat tahun. Dari mulai bersosialisasi dengan teman-teman asing, menghadapi berbagai musim, belajar di negeri orang dan dengan metode yang aku sendiri masih meraba saat itu, hingga saat aku bekerja. Hingga pada saat ini, aku harus meninggalkan semua cerita manis yang sudah kutuang di negeri ini. Perjalanan pulang menjadi sangat membosankan hanya dalam pesawat, Ridwan memilih tidur, karna aku tak bisa tidur, kubuka lagi surat yang dikirim amak dan ayah beberapa waktu lalu.
“ semangat abang, amak dan ayah bangga padamu. Kembalilah dengan selamat, dan membawa banyak keberkahan ilmu yang kau cari selama ini, ingat bahwa tidak ada yang sia-sia kecuali kau yang menyia-nyiakannya”
Begitulah isi surat amak yang dikirim sebulan yang lalu. Entah mengapa surat ini dapat menghipnotis semangatku. Seperti charger, kulipat dan ku simpang baik-baik surat itu.
^^^
Tersentak dari tidurku, nafasku memburu, keringant jagung bercucuran membasahi bajuku. Jakarta telah menjadi  saksi mimpi-mimpi rinduku, seperti malam ini. Mendengar deru nafasku yang berisik, Ridwan juga ikut bangun dari tidurnya.
“ ada apa denganmu?” tuturnya dengan mata yang masih enggan untuk dibuka
“ tidak apa-apa. Karna kau sudah terlanjur bangun lebih baik kita Shalat Tahajud terlebih dahulu, sebentar lagi juga akan subuh” ajak-ku, kutarik tubuhnya yang masih sempoyongan, matanya masih enggan dibuka, namun membelak seketika saat kusiram air dingin kemukanya. Tawaku pecah melihat ekspresinya, ia hanya mengerutu kepadaku. Usai sholat subuh, Ridwan memilih menyuci pakaiannya, sedangkan aku sibuk mengetik tulisanku untuk mengisi kolom di sebuah koran nasional minggu ini. Sudah lima tahun aku tak pulang, rasanya sangat hampa tanpa melihat sosok malaikat dan pahlawan dalam diriku, entah sudah seberapa besar adikku sekarang.
Ramadhan tak lama lagi, libur kali ini aku memilih untuk pulang ke kampung halaman. Sebenarnya, direktur tempatku bekerja menyuruhku agar ke Jepang saat pertengahan Ramadhan besok, untuk menulis sebuah artikel tentang kehidupan para muslim disana saat ramadhan dan lebaran. Namun, jika kufikir, sudah seperti bang Toyib aku ini. Tiga kali puasa dan lebih dari tiga kali lebaran, aku belum kembali kekampung, tak melihat wajah amak dan ayah yang bisa membangkitkan semangat.
Akhir bulan Mei, aku membuat sebuah keputusan harus kemana aku Ramadhan tahun ini. Dan aku memilih untuk kembali ke asalku. Aceh, kampung halamanku. Hari ini, aku mengemasi barang-barang yang akan kubawa pulang, tak lupa sedikit oleh-oleh dan baju-baju yang kubeli dari tanah abang dan pada saat dijerman dulu, kebayang jika aku sudah menyimpan baju itu selama setahun dalam lemari pakaianku. Ridwan mengantarku hingga bandara Soekarno-Hatta.
“ titipkan salam kenalku pada ibumu, ingin sekali rasanya pergi kesana. Namun karna mu aku harus ke Jepang” katanya melas sambil menepuk pudakku.
“ tak apa, lain kali akan ku ajak kau kesana wan. Sebagai gantinya akan kubawakan kau kopi khas buatan amakku untuk mu” jawabku, senyumnya mengembang. Kutahu ia menjadi sangat suka kopi karna kopi amak yang kubawa dari kampung.
Perjalanan dari Jakarta ke Aceh tak begitu memakan banyak waktu,asyik melihat keindahan alam dari ketinggian, tanpa kusadari pesawat yang kutumpangi telah mendarat di salah satu Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, pertama kuinjak kakiku ke tanah Aceh setelah Lima tahun merantau ke negara orang. Aku menunggu Angkutan umum L300 yang akan membawa aku sampai kerumah. Dari sini kampung halamanku masih sangat jauh, bisa memakan waktu lebih dari tiga jam mungkin. Namun tidak jika aku menaiki angkutan umum L300. Hampir setengah jam baru kudapati angkutan umum L300 itu, segera saja kunaikkan barang bawaan ke atas mobil dan duduk disamping supir.
“ hoe keu neuk jak bang?(mau kemana bang)” tanya supir itu
dengan logat Acehnya yang sangat kental
“ Takengon” sebutku, ia hanya mengangguk tanda mengerti, tanpa basa basi langsung saja ia tancap gas menju tujuan sambil menjemput-jemput penumpangnya. Aku sangat menikmati perjalanan ini, hingga aku tiba di depan halaman rumah, saat matahari mulai terbenam, kuketuk pinyu kayu tua itu dengan salam. Suara wanita paruh baya yang kuyakini amak itu membukakan pintu untukku. Aku tak bisa berkata-kata, mulut ini kaku, pandangan ini membeku pada parasnya yang masih cantik bagiku. Aku memeluknya, menyisakan air mata di pundaknya. Amak berteriak memanggil ayah dan adikku, memberi tahu bahwa aku sudah kemabali dari negeri orang, lama berbincang-bincang dengan mereka, menceritakan kisah empat tahunku di heidelberg dan satu tahun bekerja di Jakarta. rindu yang seperti ini yang terus menghantui mimpi-mimpiku. Aku masuk ke kamar, tidak ada yang berubah dari kamarku sejak lima tahun yanag lalu, masih banyak tempelan-tempelan poster club bola kesayanganku dan beberapa foto penulis yang buku-bukunya menginspirasi ku hingga saat ini. Namun, ada satu yang menarik perhatianku. Tumpukan koran, kulihat beberapa korang yang disusun rapi dalam sebuah dus berukuran sedang, dan ternyata koran-korang itu adalah kumpulan dari kolom-kolom yang kuiisi di  koran selama ini.  Arif, adik bungsu ku memasuki kamar dengan membawa sebuah kain sarung.
“ amak baru membelikan kain sarung ini, ia ingin abang memakainya ke mesjid untuk shalat maghrib” tuturnya
“ iya, oh ya rif, siapa yang telah mengumpulkan koran-koran ini?” tanyaku penasaran
“amak” singkatnya
“ dikoran itu ada tilisan-tulisan abang, amak selalu membaca dan menyimpannya dalam satu tempat, termasuk buku-buku yang abang kirim selama ini” lanjutnya. Bahagia, entah rasa bahagia yang seperti apa yang kurasakan saat mendengar penjelasan dari adik semata wayangku itu. Maghrib telah tiba, suara Adzan pak zakaria yang menggema sekampung itu membalas rasa riduku selama ini, kami pergi ke meunasah bersama-sama untuk menunaikan kewajiban kami sebagai umat muslim. Tak lama setelah selesai shalat maghrib, kami berkumpul di ruang makana untuk makan bersama. Melihat masakan amak yang sangat kurindukan dan menggiurkan membuat mulutku berlinang air liur, aku menyantap makanan dengan lahapnya. Usai makan kami berkumpul dan mengobrol-ngobro dengan asyik dan begitulah seterusnya.
Matahati mulai bersinar lagi, kota Takengon masih sangat dingin terutama pagi hari, dinginnya bukan main, seusai membatu amak membereskan rumah, aku berniat bermain-main ke kebun kopi, menghirup udara segar yang ada di sana, sambil membantu para buruh memetikkan biji kopi untuk dijual. Aku teringat akan sebuah tulisanku saat masih di Jerman.
“ saat dimana cerita telah menjadi sebuah kisah. Teman hidup hanyalah luka, secarik kertas telah rusak dan kotor akibat sebuah pena. Drama bukan lagi tontonan, namun sudah menjadi kenyataan. Aku takkan hidup layaknya api, yang membara ketika banyak kayu yang disungguhinya, tapi hiduplah layaknya air, tenang dan mengalir kemana saja. Kini kertas telah menjadi teman terbaik untuk menceritakan semua keluh kesah bagi seseorang yang dituding introvert bagi orang lain” begitulah kira-kira.
Baru selangkah aku berjalan meninggalkan kebun kopi. Namu, Arif memanggilku sambil setengah berlari ke arahku.
“ ada apa?” tanyaku, ia masih terengah-engah, mencoba mengatur nafasnya
“huh..! ada surat untukmu dari Jakarta, mana tahu ini penting” katanya. Kuambil amplop putih itu dari tangannya, di amplop itu bertuliskan “ untuk bang Alfi”, karna penasaran, langsung saja kubuka surat tersebut.

“ assalamualaikum bang..
Aku khodijah, wanita yang abang lihat di halte bus heidelberg, Jerman. Aku tahu saat itu abang memperhatikanku, saat itu abang begitu menarik perhatianku, kusengaja mengambil foto abang tanpa izin, saat kuceritakan dengan bang Ridwan, ternyata abang sahabatnya. Ohya, Fyi aku adalah adik sepupunya bang Ridwan. Aku banyak membaca karya tulis mu di koran dan di buku-buku. Sangat mengesankan. Kau menjadi inspirasiku. Salam hangat dari penggemarmu bang-”  begitulah kira-kira isi surat itu, senyumku mengembang penuh arti namun ada rasa kesal kepada Ridwan tentang mengapa ia tak memberitahuku.
Aku tak henti-henti mengembangkan senyum manis dari bibirku sepanjang perjalanan pulang, banyak orang yang menatap heran kepadaku. Entahlah, sejak saat itu ia tak pernah lepas dari ingatanku hingga kini.
‘ hanya saat kita menyerah,
Kita tidak tahu bahwa sebenarnya jarak kita
Sangat dekat dengan keberhasilan’

Selesai

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

coretan kisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang