WHBMB (Lampu Jalan)

396 48 7
                                    

Malam ini menjadi malam yang menyebalkan bagiku, karena di samping tugas kuliahku yang menumpuk layaknya cucian kotor di kamar, aku harus kena marah ibu kost karena terlambat membayar uang sewa.

Kalau ada yang mau menambahkan deritaku malam ini, lebih baik berikan sekarang.

Aku berjalan di bawah lampu taman, sebenarnya aku keluar rumah karena iseng saja, dan kalau harus jujur sebenarnya aku menghindari ibu kost karena ia akan menjadi mesin super cerewet soal uang sewa.

Kulihat ke samping kanan sembari berjalan entah ke mana. Tunggu, kenapa banyak sekali tenda berwarna putih di mana-mana? Apa ada acara amal? Atau konser?

Tidak kupikirkan lebih lanjut, akhirnya aku terus saja berjalan menuju perempatan jalan, berniat untuk membeli minuman dingin. Malam ini rasanya aku terlalu kenyang oleh masalah pribadi sampai akhirnya merasa sangat haus.

Belum sampai aku di minimarket yang biasa kukunjungi, aku melihat ada tukang nasi goreng yang terlihat kesal. Di depannya ada seorang pria yang mengangguk seraya mengusap belakang kepalanya.

Apa bapak tukang nasi goreng ini sedang memarahi pria itu?

Hasrat ingin tahu dalam diriku tidak bisa ditahan lagi, aku memutuskan untuk mendekati ke sumber suara. Hanya untuk mengumpulkan bahan gosip dengan temanku di kampus.

Ah, aku lupa. Namaku Mia. Park Mia Setya Laura.

"Pak," kataku pada Pak Amar. Dia tukang nasi goreng langganan di daerah kostku. Di sana kami cukup baik mengenal Pak Amar karena selalu memberikan kasbon. "Ada apa?"

Pak Amar menoleh, masih dengan wajah kesal, ia menjawab. "Eh, Nak Mia. Ini nih, masa dia beli nasi goreng tapi gak bayar? Enak aja mau gratis."

Aku melirik pada pria yang sedang menjadi bulan-bulan amarah Pak Amar. "Kenapa kamu gak mau bayar?"

Pria dengan masker putih dan baju hitam itu hanya menundukkan kepala, bak patung. Ia sama sekali tidak bersuara.

"Joseonghaminda," katanya.

Tunggu, dia turis? Orang Korea? Padahal tadinya aku mengira kalau pria ini anak muda di gang seberang yang selalu saja membuat ulah.

"Kenapa kau tidak mau membayar?" Aku bertanya dengan bahasa Korea. Kebetulan ayahku keturunan murni Korea Selatan, jadi aku bisa mengimbangi bahasa pria ini.

"Aku lupa membawa dompet," jawabnya. Sembari membuka masker yang ia kenakan.

Mau tahu apa? Jantungku hampir berhenti saat melihat wajah pria ini, aku tahu pria ini karena temanku penggemar berat pria yang katanya lupa membawa dompet ini.

Tanpa pikir panjang, uang yang tadinya akan kugunakan untuk membeli minuman dingin, aku bayarkan nasi goreng yang tidak bisa pria ini bayar.

"Dek Mia ngomong apa? Kok wa cing cong gitu ngomongnya," tanya Pak Amar bingung.

Aku terkekeh saat meraih uang dari saku jaket. "Itu bahasa Korea, Pak."

Aku lalu memberikan sejumlah uang yang harus dibayar.

"Loh, kenapa jadi Dek Mia yang bayar? Padahal kan dia yang beli." Pak Amar mengeluh.

"Gak apa-apa. Pak." Aku berkata lalu tersenyum.

Kulirik sekilas pria yang masih diam ini, pria ini tersenyum sembari melihat apa yang aku lakukan dengan tidak percaya. Bola matanya sedikit melebar.

Selesai membayar, aku lalu pergi. Tidak kupedulikan eksistensi pria tadi. Aku harus pulang, karena toh. Tidak ada yang akan aku lakukan lagi.

Namun tiba-tiba, pria tadi berseru.

HALONIVERSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang